lumos-avis
Lumos Avis
1 post
Don't wanna be here? Send us removal request.
lumos-avis · 3 years ago
Text
Find Me In Your Memory - Part 1
11 Januari 2012
Carina tersenyum menatap refleksi dirinya di cermin. Gaun berwarna hijau pastel yang dibuat oleh Nana sangat pas di tubuhnya. Rambut keriting kesukaannya, kali ini, ia biarkan diikat ekor-kuda dengan bantuan Thana, peri-rumahnya, agar lebih rapi. Jika tidak, ayahnya bisa protes karena rambutnya yang selalu terlihat berantakan. Padahal, Carina sangat menyukai rambutnya. Ia tersenyum lagi pada dirinya sendiri. Perpaduan rambut pirang platina, kulit pucat dan warna hijau pastel ternyata bisa menjadi secantik ini, pikir Carina.
Dengan semangat, ia keluar dari kamar dan menuju kamar ayahnya. Ia berjalan sambil berlompatan dan bersenandung riang. Ketika sampai di depan kamar ayahnya, Carina mengetuk pintu 3 kali dan tak lama, pintunya terbuka.
Carina tertegun beberapa detik ketika melihat ayahnya membuka pintu kamar. Ia mendongak dan menatap lurus mata kelabu lalu mengamati penampilan ayahnya. Ia kagum dengan penampilan ayahnya tapi kemudian ia cemberut. "Pantas saja Witch Weekly terus menerus mengganggu Ayah."
"Kenapa?" tanya Draco bingung.
Bukannya menjawab, Carina malah masuk ke kamar ayahnya. "Aku tidak ingin Ayah jadi bahan gosip lagi."
Draco Malfoy terkekeh mendengar jawaban anaknya. Ia lalu mendekati Carina yang duduk di kursi kerjanya. Ia bertumpu pada lututnya dan menggenggam tangan Carina. "Kau belum menjawab pertanyaan Ayah. Kenapa Witch Weekly mengganggu Ayah?"
"Ayah tidak tahu?" tanya Carina menyipitkan mata. "Setiap minggu selalu ada artikel yang menuliskan tentang kehidupan Ayah. Duda Paling Tampan Se-Britania Raya."
Draco tertawa pelan lalu berkata penuh percaya diri, "Tapi Ayah memang tampan."
Carina merengut. "Kurangi sedikit saja agar tidak ada penyihir wanita yang mengganggu Ayah lagi."
"Tapi memang tidak ada penyihir wanita yang mengganggu Ayah," kata Draco.
"Ayah yakin?"
Draco mengangguk. "Sekarang, anak perempuan Ayah yang cantik, kenapa hari ini berpakaian rapi?"
"Ayah lupa?" tanya Carina dengan kerutan di dahi dan bola mata yang seakan hampir keluar. "Hari ini hari ulang tahunku."
Draco berdiri lalu mengangkat Carina dan menggendongnya. "Selamat ulang tahun."
Carina memeluk erat ayahnya. Carina sangat menyukai pelukan ayahnya. Rasanya hangat dan penuh dengan kasih sayang. "Aku berusia 6 tahun hari ini." Carina tertawa geli karena ayahnya kini berputar sehingga membuatnya seakan melayang. "Can we go downstairs and have my birthday breakfast?"
"Tentu saja," jawab Draco yang kemudian berhenti dan menurunkan Carina. Keduanya pun keluar dari kamar Draco dan berjalan menuju ruang makan. Carina langsung berlari memeluk kakek dan neneknya, Lucius dan Narcissa Malfoy yang sudah terlebih dahulu tiba di sana.
"Ini dia permaisuri cantik yang berulang tahun hari ini," kata Lucius sambil berjongkok dan menerima pelukan dari Carina yang penuh semangat. "Selamat ulang tahun, Carina."
Carina mencium pipi kakeknya. "Terima kasih, Gramp."
"Kenapa hanya Gramp yang mendapatkan ciuman?"
Carina tertawa lalu memutar meja makan dan melihat neneknya cemberut. Ia pun berlari sambil tertawa dan mencium pipi Narcissa yang langsung berjongkok ketika Carina mendekat.
"Selamat ulang tahun, cantik. Kau sudah siap merayakan hari ulang tahunmu?" tanya Narcissa.
Carina mengangguk semangat. "Lihat aku," Carina mundur satu langkah lalu berputar sambil merentangkan gaun yang dikenakannya. "Apakah aku terlihat cantik? Aku menunggu sampai hari ini tiba agar bisa mengenakan gaun ini. Thana juga membantuku mengikat rambut agar rambutnya tidak berantakan," katanya lalu melirik ayahnya yang sepertinya pura-pura tidak menyadari kalau sebenarnya Carina sedang menyindir ayahnya.
Lucius dan Narcissa mengangguk semangat. Narcissa lalu duduk setelah Lucius menarik kursinya dan Carina duduk di sampingnya.
"Kau mengenakan gaun dari Nana, ya?" tanya Draco yang akhirnya masuk setelah menyaksikan pertunjukan drama Carina dan kedua orangnya. Ia langsung duduk di seberang ibunya.
Carina mengangguk semangat. "Apa Nana dan Pops akan datang hari ini? Apa mereka sudah kembali ke Inggris?"
Narcissa mengangguk. "Mereka akan datang nanti siang. Ayahmu akan menjemput Nana dan Pops."
"Apa aku boleh ikut?" pinta Carina pada ayahnya.
Draco menggeleng.
"Kenapa?"
"Kau berjanji pada Ayah akan berada di Manor sepanjang hari," jawab Draco yang mengingat janji yang diberikan Carina beberapa minggu lalu.
Carina mengerucutkan bibirnya dan menggerutu pelan.
"James dan Albus akan datang jam 10 begitu juga dengan Rose," kata Narcissa begitu melihat perubahan ekspresi pada wajah Carina. "Jika mereka datang dan kau tidak ada di sini, bagaimana? Kau akan membiarkan mereka bermain sendirian?"
Carina menghela nafas dan akhirnya mengangguk. "Baiklah. Tapi, Ayah janji akan membawa Nana dan Pops datang kali ini."
Draco tersenyum dan mengangguk. "Tenang saja, mereka sudah berjanji untuk datang di hari ulang tahunmu yang keenam."
.
.
Butuh waktu sekitar 10 menit sebelum akhirnya Draco mengetuk pintu. Ia memejamkan mata dan terus berkata dalam hati kalau ia akan baik-baik saja. Tak lama, pintu putih dengan hiasan Natal yang masih menggantung pun terbuka. Draco tersenyum ramah melihat Jean Granger membuka pintu.
"Sudah lama tidak bertemu," kata Jean Granger yang langsung memeluk Draco.
"Apa kabarnya, Mum?" tanya Draco setelah dipersilakan masuk.
"Selalu kabar baik," jawab Jean dan memberikan segelas teh hijau untuk Draco.
"Dimana Dad?" tanya Draco yang menyadari kalau suami dari Jean, Harris Granger tidak terlihat.
"Masih di atas," jawab Jean. "Bagaimana kabarmu?"
Draco menyesap tehnya yang sudah tidak mengepul dan menjawab, "Baik sekali."
Jean tertawa kecil. "Aku harap aku juga penyihir sepertimu agar aku bisa masuk ke dalam pikiranmu dan mengetahui apa yang sebenarnya kau pikirkan."
"Mum tidak mempercayaiku?"
Jean menggeleng.
"Sekalipun kau berkata jujur, Jean tetap tidak akan percaya," Harris Granger akhirnya masuk ke dalam dapur.
Draco langsung berdiri dan tersenyum. Ia juga tertawa kecil saat Harris menepuk-nepuk pundaknya pelan.
"Aku memang berkata jujur pada kalian," bela Draco.
"Bagaimana kabarmu?" kini Harris bertanya pertanyaan yang sama dengan Jean.
"Baik sekali," jawab Draco dan diikuti tawa. Beruntung sekali Draco tidak harus berbohong kali ini.
"Di mana Carina?"
"Dia di Manor," jawab Draco. "Potter dan keluarganya sudah datang sebelum aku datang ke sini."
"Lalu, bagaimana kita akan ke Manor?" tanya Jean.
"Aku tahu Mum tidak suka menggunakan Jaringan Floo," jawab Draco mencoba untuk menahan tawanya karena melihat Jean meringis mendengar Draco menyebut Jaringan Floo. "Kita akan ke Diagon Alley terlebih dahulu dan ber-apparate dari sana ke Manor."
Jean mendesah lega, tapi tidak dengan Harris. "Bisakah Dad menggunakan Jaringan Floo saja?"
Ayah dan ibu mertua Draco cukup bertolak belakang jika harus bepergian menggunakan cara sihir. Harris tidak menyukai ber-apparate karena menurutnya bisa membuat isi perutnya keluar semua sedangkan Jean tidak menyukai menggunakan Jaringan Floo karena bubuk floo membuatnya kotor dan bersin-bersin.
"Bukankah kau ingin mampir ke Diagon Alley untuk membelikan hadiah ulang tahun Carina?" tanya Jean bingung.
"Aku sudah membelikannya hadiah," kata Harris.
"Kapan kau membelinya?"
"Tadi malam," jawab Harris yang kemudian menghindari tatapan mata istrinya.
"Sayang sekali, Dad," kata Draco. "Jaringan dari Manor ke sini sudah ditutup sejak kalian pindah ke Australia. Untuk kali ini saja, kita harus ber-apparate dari sana."
"Bagaimana caranya kita ke Diagon Alley?" tanya Jean.
Draco menyeringai dan mengedipkan mata pada ibu mertuanya. "Aku sudah bisa mengemudi sekarang."
Harris dan Jean terkejut tapi juga terlihat senang. "Sejak kapan kau belajar mengemudi?"
"Dua tahun lalu," jawab Draco.
"Apa kau yakin? Kau sudah mendapatkan lisensinya?" tanya Harris.
"Aku mendapatkannya tanpa bantuan sihir," jawab Draco bangga.
"Kali ini Mum percaya padamu," kata Jean tak kalah bangga.
.
.
"Kenapa kau malah di sini, Draco?"
Draco memutar kepalanya dan menemukan Ginny Potter yang muncul entah dari mana dan duduk di sampingnya.
Ia sedang menyendiri atau lebih tepatnya menghilang dari kerumunan yang sejak beberapa menit yang lalu mulai berbicara mengenai kehidupan Draco. Dari pada ia marah dan merusak acara Carina, lebih baik ia menghilang untuk sementara. Tapi, ia sering melakukannya. Bukan, ia selalu melakukannya setiap kali Carina merayakan ulang tahunnya.
"Apa mereka masih membicarakanku?" tanya Draco.
Ginny menaikkan kedua bahunya. "Aku langsung keluar ketika Mum dan ibumu mulai membicarakan soal penyihir perempuan untukmu dan Charlie."
Draco tertawa. "Ternyata ibuku dan Mrs Weasley bisa akur juga jika membicarakan soal kehidupan percintaan anak-anaknya."
"Bagaimana tidak? Kau dan Charlie sudah 5 tahun berturut-turut masuk ke dalam daftar Penyihir Pria Yang Seharusnya Menikah. Sudah beberapa bulan ini Mum dan Mrs Malfoy saling bertukar surat dan mencarikan wanita yang layak untuk kalian."
"Aku tahu dan keduanya tidak akan berhenti," kata Draco.
"Jadi?"
"Jadi?"
"Kapan kau akan membuat mereka berhenti?"
Draco tertawa. "Ibuku dan Mrs Weasley akan berhenti dengan sendirinya. Sepertinya, Charlie juga sama tidak tertariknya dengan wanita-wanita itu."
"Seumur hidupnya, dia hanya tertarik pada naga," kata Ginny dan tak lama ia mengerjap. "Kenapa kalian tidak bersama saja? Namamu kan artinya naga."
Draco tertawa hambar dan Ginny tertawa terbahak-bahak. "Lucu sekali, Potter."
Ginny berhenti tertawa meskipun masih tidak bisa menurunkan pipinya. "Kenapa kau malah di sini dan bukannya di dalam bersama Carina?"
"Jika sedang bersama James dan Rose, Carina akan lupa kalau masih mempunyai ayah," jawab Draco.
"Tapi kau selalu seperti ini," kata Ginny. "Aku selalu menemukanmu menyendiri di sini setiap kali Carina ulang tahun."
Draco memaksakan seulas senyuman. "Dan kenapa kau masih bertanya? Kau sudah tahu alasannya."
"Mungkin saja tahun ini alasannya berbeda," jawab Ginny.
"Tidak akan berubah," Draco kemudian meringis melihat ekspresi Ginny yang berubah khawatir. "Jangan menatapku seperti itu," pinta Draco.
Ginny mendengus. "Memangnya aku menatapmu seperti apa?"
Draco mendelik dan kembali memperhatikan Ginny. Alih-alih menjawab, ia berkata, "Aku akan pindah ke Spanyol minggu depan."
"APA?" Ginny spontan berteriak.
"Bisakah kau kecilkan suaramu?"
"Apa-apaan kau Draco Malfoy?" kata Ginny sambil memukul-mukul pundak Draco.
Draco langsung menggeser duduknya agak jauh dari jangkauan Ginny lalu mengelus-elus pundaknya yang terasa sakit. "Seharusnya aku memberitahumu beberapa menit sebelum berangkat saja," balas Draco penuh sesal.
"Apa kau sudah memberitahu yang lainnya?"
Draco menggeleng. "Hanya Ayah dan ibuku dan juga Blaise."
"Bagaimana dengan Mr dan Mrs Granger?"
"Aku akan memberitahunya nanti dan menjelaskan semuanya," jawab Draco tenang.
"Kenapa kau pindah? Carina akan ikut denganmu?"
"Tentu saja," jawab Draco. "Aku tidak bisa meninggalkannya sendirian di sini. Mereka membutuhkan bantuanku."
"Mereka? Mereka siapa?"
"Gringotts."
"Berapa lama?"
Draco menggeleng-gelengkan kepalanya. "Mungkin sampai Carina mendapatkan surat dari Hogwarts."
"Lima tahun?" tanya Ginny berang. "Kau akan mati Malfoy jika semuanya tahu."
"Aku tahu," seru Draco. "Potter dan Weasley mungkin akan mengutukku tapi aku tidak punya pilihan."
"Ayah dan ibumu setuju kau pindah ke sana dengan Carina?"
"Tentu saja tidak, aku sudah katakan padaku, aku tidak punya pilihan."
"Tentu saja kau punya. Kau bisa berhenti bekerja dan tetap tinggal di sini," kata Ginny ngotot.
"Apa kau sudah gila?" kata Draco yang hampir berteriak. "Butuh waktu bertahun-tahun bagiku untuk sampai di posisiku saat ini dan dengan santainya kau menyuruhku untuk berhenti."
"Kalau kau tahu betapa susahnya kau berada di posisimu saat ini, kenapa kau malah pindah?" Ginny tiba-tiba merasa ingin meledak-ledak karena terkejut dan juga kesal. "Kau akan menjadi Kepala Pemecah-Kutukan termuda sebentar lagi."
"Aku tidak akan dibiarkan menduduki posisi itu jika belum merasakan bekerja di luar negeri," jawab Draco. "Lagi pula, aku tidak ingin Carina melihatku tidak bekerja tapi mempunyai banyak uang."
"Kau banyak melakukan investasi di berbagai perusahaan. Jika Carina bertanya asal uangnya, beritahu dia kalau kau berinvestasi. Mr Granger juga membelikannya saham sebagai hadiah ulang tahun. Kau juga seorang Malfoy, kau tidak membutuhkan uang tapi uang yang membutuhkanmu."
"Carina harus tahu. Jika ingin mendapatkan uang, maka dia harus bekerja. Jika dia melihatku bekerja keras, dia akan lebih menghargai kehidupannya kelak."
"Merlin! Kau terdengar seperti Hermione." Ginny langsung menutup mata dan mengutuk dirinya sendiri. Ia ingin sekali menarik kata-katanya tapi sudah terlambat. "Maafkan aku, Malfoy."
"Tidak apa-apa," jawab Draco. "Kau benar. Aku memang makin mirip dengannya." Draco mengalihkan pandangannya, menatap kebun mawar di depan sana dan buru-buru menghapus setetes air mata yang keluar sebelum membasahi pipinya.
"Mum?"
Draco dan Ginny menoleh melihat Albus berlari menghampiri ibunya.
"Ada apa?" tanya Ginny langsung merangkul Albus.
"Kenapa Mum di sini dengan Mr Malfoy?" tanya Albus mendongak menatap ibunya.
"Draco. Kau bisa memanggilku Draco," pinta Draco lembut dan Albus hanya tersenyum kecil. Ia bingung kenapa anak-anak Harry dan Ginny Potter masih memanggilnya Mr Malfoy sedangkan mereka memanggil Lucius dan Narcissa Malfoy dengan panggilan yang lebih akrab, Grandpa Lu dan Grandma Cissy.
Albus pun hanya tersenyum kikuk.
"Ayahmu mencariku?" tanya Ginny lembut.
Albus mengangguk.
Ginny berdiri dan membiarkan Albus berjalan terlebih dahulu. "Ayo," ajak Ginny pada Draco. "Kau tidak bisa bersembunyi di sini sampai acaranya selesai. Kau juga harus memberitahu semua orang. Peluang kau hidup lebih besar jika kau memberitahu mereka sekarang.
Draco memutar bola matanya, menggerang dan menggerutu tapi ia berdiri dan berjalan di samping Ginny.
.
.
Carina tersenyum pada ayahnya, yang sudah mengenakan baju tidur dan berjalan masuk ke kamarnya.
"Kenapa permaisuri cantikku belum tidur?" tanya Draco pura-pura cemberut lalu duduk di pinggir kasur.
Carina tersipu. Ia menyukai jika ayah atau kakek-kakeknya memanggilnya permaisuri. "Bisakah aku tidur setelah jam 12?" tanya Carina ragu-ragu.
Draco menggeleng. "Kau seharusnya sudah tidur 20 menit yang lalu," katanya menunjuk jam dinding berbentuk matahari di dekat pintu kamar yang sudah menunjukkan pukul 9.20.
"Bisakah Ayah membacakan buku untukku?" pinta Carina dengan suara yang dibuat-buat agar terdengar imut dan lucu.
"Buku apa?"
"Biografi Albus Dumbledore."
Draco mengerang. "Buku itu terlalu berat untuk bacaan sebelum tidur. Kenapa tidak membaca salah satu buku cerita muggle kesukaanmu?"
Carina menggeleng. "Jika tidak, ceritakan padaku cerita yang belum pernah Ayah ceritakan padaku."
Draco pun tersenyum lalu pindah dan duduk di samping Carina. Ada banyak cerita yang tidak atau belum pernah Draco ceritakan pada Carina, tapi ia tidak tahu harus menceritakan cerita apa pada anaknya. "Cerita apa yang ingin kau dengar?"
Carina diam sejenak dan berpikir. Ia mendongak dan tersenyum sedih. "Bisakah Ayah ceritakan padaku kenapa Ayah menyukai Ibu?"
Draco tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Carina tidak pernah meminta Draco menceritakan tentang ibunya sebelumnya. Dan bukannya mendapat inspirasi, ia malah semakin bingung. Ada terlalu banyak cerita yang bisa ia ceritakan pada Carina.
"Ayah tadinya tidak menyukai Ibu kan?" tanya Carina. "Tadi, Paman Ron mengatakan padaku kalau Ayah dan Ibu juga Paman Ron dan Paman Harry tidak berteman seperti sekarang."
Draco terkekeh. "Apa yang sudah dikatakan Paman Ron padamu? Kenapa dia tiba-tiba menceritakan itu padamu?"
"Karena kita akan pindah ke Spanyol," jawab Carina. "Paman Ron sepertinya kesal."
Weasley sialan! Draco akan mengutuknya besok.
"Ayah? Kenapa diam saja?" tanya Carina protes.
Draco mengelus-elus kepala Carina lembut. "Apa yang ingin kau dengar?"
"Tapi sebelumnya, bisakah Ayah berjanji satu hal padaku?" Draco mengangguk. "Aku ingin Ayah bercerita padaku tentang Ibu setiap hari." Carina melihat raut wajah ayahnya berubah. "Tidak harus semuanya, maksudku, cerita yang ringan saja. Aku tidak ingin membuat Ayah sedih tapi aku juga ingin mendengar cerita tentang ibu dari Ayah."
Draco mengangguk tanpa berpikir dan mencium puncak kepala Carina. Bisa dikatakan, Draco hampir tidak pernah bercerita tentang Hermione pada Carina. Selama ini, anak perempuannya itu mendengar kisah Hermione hanya dari kedua kakek-neneknya, teman-teman Hermione seperti Harry dan Ron dan bahkan dari Blaise dan Theo. "Cerita apa yang ingin kau dengar malam ini?"
Carina tersenyum lebar dan merasa senang sekali. "Jika benar Ayah tidak menyukai Ibu, apa yang membuat Ayah menyukainya? Kapan ayah menyadarinya?"
Draco berpikir beberapa saat karena ia tidak yakin kapan pastinya ia menyukai Hermione. Akhirnya, ia membuka memorinya saat pertama kali mereka bertemu kembali di Hogwarts saat melanjutkan sekolah setelah perang.
.
.
.
Suara deburan air di Rumah Perahu kini tidak terdengar lagi karena tiba-tiba saja hujan turun dengan derasnya. Suara rintikan hujan terdengar keras sekali sehingga membuat Draco harus menutup telinganya dengan kedua tangannya.
"Merlin! Apa yang kau lakukan di sini?"
Draco menolehkan kepalanya dan menemukan Hermione Granger memasuki Rumah Perahu dengan kemeja dan rok yang basah. Tetesan-tetesan air juga turun dari rambutnya dan menyebabkan rambutnya tidak lagi megar.
"Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Draco balik.
"Aku? Berteduh dari hujan," jawab Hermione. Ia lalu mengeluarkan tongkat dan mengeringkan seluruh tubuhnya. Ia juga merapalkan Mantra Diam agar bunyi rintikan air hujan tidak terdengar lagi.
Draco ingin sekali tertawa ketika melihat rambut Hermione kembali megar. Tapi, ia menahan tawanya dan malah mencibir, "Jika kau bisa mengeringkan dirimu sendiri, kenapa kau berteduh di sini?"
Hermione memutar bola matanya. "Karena tadinya aku mau ke sini dan terlalu jauh jika aku harus kembali ke kastel. Lalu kau, apa yang kau lakukan di sini?"
"Menyendiri," jawab Draco dan kembali memandangi air di Rumah Perahu yang semakin meninggi.
Ada keheningan yang lama sekali sebelum Hermione bertanya pada Draco.
"Kenapa kau menyendiri di sini?"
"Apa urusanmu?"
Hermione mengerang. "Aku menyesal bertanya padamu. Selamat tinggal." Hermione melepaskan Mantra Diam dan suara rintikan air hujan kembali terdengar.
Ketika Draco berdiri dan membalikkan badan, Hermione sudah tidak ada di sana. Ia mendesah dan menyesal. Seharusnya ia menjawab saja tadi pertanyaan Hermione Granger.
Ia pun kembali ke asrama dan bertahan di sana sampai makan malam.
Saat berjalan memasuki Aula Besar, ia kembali bertemu dengan Hermione Granger. Dia memasang tampang sebal pada Draco dan berpura-pura tidak melihatnya. Draco juga melakukan hal yang sama dan langsung duduk membelakangi meja-meja asrama lain. Ia memilih duduk menatap tembok dan Theo di hadapannya.
"Aku tidak melihatmu seharian ini, Draco," kata Pansy yang baru saja datang dan langsung duduk di sampingnya. "Ke mana saja kau?"
"Draco tidur di kamarnya," bukannya Draco, tapi Theo yang menjawab. Draco mengangguk-angguk dan memberikan acungan jempol pada Theo. "Kenapa kau mencarinya?" tambah Theo.
"Bukan urusanmu," jawab Pansy lalu fokus pada makan malamnya.
Draco melirik Theo dan Zabini, di sampingnya, dan tertawa dalam diam.
Setelah selesai makan malam, Draco tidak langsung kembali ke asrama. Ia berjalan menuju Menara Jam dan duduk menatap halaman Menara Jam di bawah sana dengan pendulum jam di belakangnya yang bergerak ke kanan dan ke kiri.
Sejak kembali ke Hogwarts melanjutkan sekolahnya, Draco lebih banyak menghabiskan waktunya menyendiri. Ada banyak tempat di kastel yang bisa digunakan Draco untuk menyendiri dan menenangkan pikirannya.
Perang mengubah segalanya. Draco beruntung tidak mendapatkan hukuman kurungan di Azkaban meskipun jelas-jelas ia mempunyai Tanda Kegelapan di lengan kirinya. Meskipun juga ia terpaksa kembali ke Hogwarts, tapi setidaknya ia berada jauh dari rumah dan tidak harus bertemu dengan ibunya setiap hari.
"Kenapa kau ada di sini, Malfoy?"
Lamunannya kembali buyar. Ia melihat Hermione Granger berdiri tak jauh dari jalan masuk ke tempat Draco duduk saat ini. Alih-alih pergi, Hermione Granger malah menghampiri Draco dan duduk di sampingnya.
"Apa kau mengikutiku hari ini?" tanya Draco penasaran. Sudah dua kali Hermione menginterupsinya hari ini.
"Apa? Tidak!" jawab Hermione. "Kenapa kau pikir aku mengikutimu?"
"Karena kau menggangguku."
"Yang benar saja," gerutu Hermione lalu berdiri dan hendak pergi. Tapi, Draco dengan cepat menahan tangannya.
"Jangan pergi," pinta Draco.
Hermione melepaskan tangan Draco dan kembali duduk. Ia sedikit menggeser posisi duduknya dan bersandar pada dinding kaca, sehingga posisinya menghadap ke pendulum dan juga Draco.
"Kau menyendiri lagi?"
Draco hanya mengangguk.
"Bagaimana kabarmu?"
Jika ia sedang berdiri, Draco dapat memastikan kalau ia akan terjatuh karena mendengar Hermione menanyakan kabarnya. "Kau menanyakan kabarku?"
"Lupakan saja," kata Hermione kesal.
Draco spontan tertawa. Melihat Hermione kesal ternyata menyenangkan juga. "Aku selalu dalam keadaan baik. Bagaimana denganmu?"
"Baik juga."
"Apa kau kesepian karena Potter dan Weasley tidak kembali tahun ini?"
Draco yakin sekali ia memberikan pertanyaan yang tepat karena raut wajah Hermione berubah. Kabar Harry Potter dan Ron Weasley tidak kembali ke Hogwarts karena tawaran pelatihan Auror berhembus sejak akhir musim panas. Hermione juga mendapatkan tawaran itu tapi dia lebih memilih untuk kembali ke Hogwarts.
Hermione mengangguk. "Rasanya aneh kembali ke Hogwarts tanpa mereka. Padahal, aku penasaran sekali apa rasanya sekolah tanpa harus mengkhawatirkan nyawa sepanjang tahun."
"Kenapa kau tidak ikut mereka saja?"
Hermione menggeleng. "Menyelesaikan pendidikan lebih baik dari pada pelatihan Auror."
"Wah, kau akan cocok berbincang dengan ibuku," gumam Draco.
"Aku tidak yakin dengan hal itu," kata Hermione.
"Kau akan menyetujui ceramah yang ibuku berikan ketika memaksaku kembali ke Hogwarts."
"Apa yang dikatakan ibumu?"
Draco memberikan ekspresi tidak menyenangkan. Ia harus membuka memorinya dan mengingat perkataan ibunya. "'Tidak ada yang lebih penting dari pendidikan, Draco Malfoy. Setelah apa yang terjadi, kau tidak akan bisa hidup tanpa nilai NEWT. McGonagall dan Kementerian sudah sangat baik mengizinkanmu kembali ke Hogwarts. Gunakan kesempatan itu baik-baik untuk belajar dan merefleksikan diri. Kau akan sadar ketika sudah berada di sana. Tidak ada yang lebih penting dari pendidikan.'"
Hermione tidak bisa menahan tawanya. "Kau seharusnya menjadi aktor. Caramu menirukan ibumu sangat mirip sekali."
Draco tertawa datar. "Lucu sekali, Granger."
"Lalu, apa yang membuatmu kembali ke sekolah?" tanya Hermione dengan sisa tawa di wajahnya.
"Jika aku tidak kembali, aku tidak akan mendapatkan izin mengakses brankas keluarga Malfoy di Gringotts. Aku tidak punya pilihan lain."
"Kau melakukannya untuk uang."
"Tidak juga," sanggah Draco. "Ada beberapa barang-barang pribadi yang aku simpan di sana. Jika aku sekolah, aku akan mendapatkan akses ke brankas sepenuhnya tanpa izin dari orang tuaku."
"Tapi, bukannya kau sudah menjadi kepala keluarga?"
"Tapi aku belum lulus sekolah," jawab Draco. "Aku harus menunggu satu tahun untuk mendapatkan hak penuh sebagai kepala keluarga."
"Rumit sekali," keluh Hermione. "Kau sudah menjadi kepala keluarga tapi tidak bisa mengakses brankas milik keluargamu karena kau belum lulus sekolah. Bagaimana jika kau tidak kembali ke sekolah?"
"Aku tidak akan menjadi Malfoy lagi."
"Apa itu sebuah ancaman?"
Draco menggeleng. "Seorang Malfoy harus menyelesaikan sekolahnya tanpa terkecuali. Aku juga mendapatkan surat dari Dumstrang tapi ibuku tidak mengizinkan aku melanjutkan sekolahku di sana. Jika aku tidak melanjutkan sekolah, selain tidak bisa mengakses brankas, aku juga bukan seorang Malfoy lagi."
Draco hanya melihat Hermione mengangguk-angguk. Lalu, keduanya diam. Hanya terdengar suara jangkrik dan juga suara pendulum jam yang bergerak ke kanan-kiri.
"Apa yang kau lakukan tanpa Potter dan Weasley di sekolah?" tanya Draco ketika mereka sudah saling diam cukup lama.
"Tidak melakukan apa-apa," jawab Hermione. "Maksudku, tidak ada yang bisa aku lakukan selain belajar. Jadi aku menghabiskan banyak waktuku di perpustakaan."
"Mereka ada di sini pun kau akan tetap ke perpustakaan kan?"
"Tidak juga. Ada banyak yang aku lakukan dengan Harry dan Ron," kata Hermione sambil tersenyum seakan. "Di tahun pertama aku harus mencari tahu misteri Batu Bertuah, di tahun kedua aku membantu mereka mencari tahu soal Kamar Rahasia meskipun aku membeku, di tahun ketiga tiba-tiba saja muncul Sirius Black, di tahun keempat Harry menjadi peserta Turnamen Triwizard, di tahun kelima Voldemort kembali dan ada Umbridge di sekolah, di tahun keenam Harry mencurigai semua gerak-gerikmu dan membuatku berpikir kalau dia sebenarnya naksir kau dan tahun kemarin aku menghabiskan sepanjang tahun berpindah-pindah tempat untuk bertahan hidup. Aku tidak menghabiskan waktuku di perpustakaan jika ada mereka."
"Maafkan aku."
"Apa yang barusan kau katakan?"
"Maafkan aku, Granger."
"Kenapa tiba-tiba meminta maaf?"
"Kau mempunyai tahun-tahun yang tidak biasanya di sekolah karena...karena Kau-Tahu-Siapa."
"Seharusnya dia yang meminta maaf bukan kau."
"Aku merasa aku juga mempunyai andil dalam hal itu."
Draco merasa suasana kembali menjadi canggung. Ia tidak tahu kenapa tiba-tiba saja ia meminta maaf pada Hermione Granger. Yang ia tahu, kehidupan sekolah Hermione Granger dan dua temannya tidak seperti anak-anak sekolah pada umumnya.
"Kau sudah meminta maaf berkali-kali, Malfoy," kata Hermione dengan desahan yang terdengar lelah. "Kau tidak harus meminta maaf lagi." Hermione pun berdiri dan merapikan pakaiannya. "Aku rasa, apa yang dikatakan ibumu memang benar dan tanpa kau sadar, kau sudah melakukannya dengan cukup baik."
"Melakukan apa?" tanya Draco bingung.
"Selamat malam, Malfoy," kata Hermione lalu berjalan pergi dari Menara Jam.
Draco tidak melakukan apa-apa untuk mencegah Hermione pergi tapi ia sendiri masih bingung. Apa yang sudah ia lakukan? Apa hubungannya dengan perkataan ibunya?
.
.
.
Ternyata Carina sudah tertidur. Draco tidak menyadarinya. Draco membetulkan posisi tidur Carina dan menutupinya dengan selimut. Ia mencium dahi anak perempuannya sebelum kembali ke kamarnya sendiri.
Dadanya terasa berat sekali ketika masuk ke kamar dan duduk di pinggir kasur. Ia memperhatikan sekeliling kamarnya dan tertuju pada foto yang tidak bergerak dan tidak juga berbicara. Foto dirinya dan Hermione di hari pernikahan mereka. Hermione berdiri membelakangi kamera tapi kepalanya menoleh dan tersenyum lebar dan terlihat sangat cantik dengan balutan gaun biru muda berhiaskan batu permata yang membuat gaunnya bersinar. Di sampingnya, Draco mengenakan setelan jas biru gelap dengan tangan kanan memegang buket bunga dan tangan kirinya digenggam oleh Hermione.
Ketika foto itu diambil, keduanya sudah sangat lelah dan ingin segera melepaskan gaun dan jas pernikahan dan menggantinya dengan pakaian yang lebih santai. Tapi, si fotografer memintanya untuk berfoto sekali lagi. Tanpa sadar, air matanya bergulir. Senyuman Hermione dan tatapan mata penuh bahagia membuat Draco tidak bisa menahan dirinya.
Draco buru-buru menghapus air matanya lalu berjalan menuju meja kerjanya. Ia duduk di kursi dan mengeluarkan sebuah foto yang juga tidak bergerak. Foto itu diambil menggunakan kamera muggle. Pada foto itu, Draco merangkul Hermione dengan latar belakang istana di Disneyland Paris. Keduanya mengenakan pakaian muggle, kaos berwarna hitam polos dan jeans berwarna biru. Tangan kanan Draco merangkul Hermione dan tangan kirinya memegang permen kapas besar berbentuk Mickey Mouse sedangkan Hermione memeluk pinggangnya.
Draco membalik foto itu dan membaca tulisan yang Hermione tulis di sana yang sudah sangat ia hapal :
Paris, 2002. Hermione bersama dengan pria paling mengagumkan di kedua dunia.
Dadanya kembali terasa sakit. Nafasnya sesak. "Silencio," bisik Draco dan kemudian, ia menangis sejadi-jadinya sambil menggenggam foto dan meremas dadanya. Ia mengeluarkan perasaan sedihnya yang ia tahan seharian penuh. Ia tidak bisa menunjukkan kesedihannya di hadapan Carina, tidak juga di hadapan kedua orang tuanya dan juga mertuanya. Tidak juga di hadapan teman-temannya. Ia juga tidak bisa menahan dirinya agar tidak sedih hari ini, seperti tahun-tahun sebelumnya.
Draco merindukan Hermione. Ia merindukan keberadaan Hermione di hidupnya.
12 Januari 2012
Seperti yang sudah Draco prediksi. Harry Potter dan Ron Weasley tidak memberikan reaksi yang bagus mengenai kepindahannya ke Spanyol. Setelah memastikan Carina tidur, Draco bertemu dengan kedua sahabat baik Hermione di pub kecil di pinggiran kota London. Ia sudah menyiapkan diri mendengar ocehan Harry dan Ron yang tentu saja tidak akan mengubah pikirannya.
"Aku tidak tahu kalau kau benar-benar gila, Malfoy," kata Ron setelah meneguk habis firewhiskey miliknya.
"Kau bisa menolaknya," sambung Harry. "Kenapa harus merepotkan dirimu sendiri sampai harus pindah ke Spanyol?"
"Kalian akan merindukanku?" goda Draco.
Ron mendengus. "Memangnya kau bisa Bahasa Spanyol?"
"Bagaimana dengan Carina?" tanya Harry.
"Aku bisa Bahasa Spanyol dengan lancar, Weasley. Dan Potter, Carina tentu saja akan ikut denganku," jawab Draco tenang.
"Aku yakin sekali ibumu tidak setuju dengan hal ini," tebak Harry.
"10 galleon untukmu, Potter," kata Draco sambil lalu. "Tapi, tidak ada yang bisa orangtuaku lakukan."
"Tidak mungkin alasanmu pindah ke sana hanya karena Gringotts Spanyol membutuhkan bantuanmu," kata Ron. "Kau hampir menjadi Kepala Pemecah-Kutukan di sini. Kenapa kau malah pergi ke sana?"
"Kau menemukan sesuatu tentang Hermione kan?" tanya Harry.
Draco menggeleng dan berusaha mengatur ekspresinya. Ia masih merasa mencelus dan dadanya terasa sakit setiap kali ia mendengar nama Hermione disebut oleh orang lain. "Kepindahanku ke sana tidak ada hubungannya ke Granger."
"Lalu apa?"
"Tidak ada apa-apa," jawab Draco polos.
"Bagaimana dengan Carina? Bagaimana sekolahnya? Kau tidak berencana membiarkannya sekolah di sana kan?" tanya Harry.
"Jika aku masih berada di sana sampai Carina mendapatkan surat Hogwarts, Carina akan kembali ke Inggris dan aku tetap di Spanyol."
"Memangnya berapa lama kau akan tinggal di sana?" tanya Ron heran.
"Hanya sampai pekerjaanku selesai."
"Memangnya kapan pekerjaanmu selesai?" tanya Ron lagi.
"Aku tidak tahu," jawab Draco jujur. "Tidak ada tenggang waktu yang diberikan. Jika aku merasa nyaman tinggal di sana, aku mungkin tidak akan kembali ke sini."
"Kau benar-benar sudah gila, Malfoy," sahut Ron cepat dengan ekspresi menyebalkan.
"Malfoy tidak hanya gila, tapi sudah kehilangan otaknya."
Ketiga pria itu menoleh mendengar suara Blaise Zabini dan menemukan pria itu menarik sebuah kursi dari meja sebelah dan duduk di antara Draco dan Ron.
"Kenapa kau bisa ada di sini?" tanya Draco bingung.
"Aku memang selalu ke sini setiap hari Senin. Apa kau lupa?" kata Blaise yang langsung memesan minuman.
"Dimana Theo?" tanya Draco setelah pelayan pergi meninggalkan mereka.
"Makan malam dengan Luna," jawab Blaise.
"Jawab pertanyaanku, Malfoy," kata Harry tidak sabar. "Di mana kau akan tinggal?"
"Kenapa kau jadi perhatian sekali?" tanya Draco balik.
"Carina," jawab Harry. "Aku memikirkan Carina. Ginny juga menyuruhku menanyakan banyak hal padamu. Dia tidak percaya kau akan pindah ke Spanyol. Dia tidak bisa berhenti mengkhawatirkan Carina. Blimey, Malfoy! Carina baru saja berumur 6 tahun dan akan kau ajak pindah ke Spanyol. Memangnya Carina mau?"
"Tentu saja Carina mau," jawab Draco lalu menyeringai. "Carina senang sekali saat aku ajak pergi ke sana."
"Apa kau bilang padanya kalau kalian pindah ke sana dan bukan hanya liburan atau semacamnya?" tanya Blaise.
Draco mengangguk. "Aku mengatakan semua dan Carina menerimanya dengan sangat baik."
"Lalu, dimana kau akan tinggal?" tanya Harry lagi. Ia kesal karena pertanyaan belum dijawab. "Kau sudah mendapatkan tempat tinggal?"
"Vielha. Pemukiman penyihir terbaik di Spanyol," bukan Draco yang menjawab tapi Blaise.
"Rumah? Flat?" tanya Ron.
"Rumah," jawab Draco. "Pemukiman penyihir di sana merupakan yang terbaik dan tinggal ada muggle. Carina sudah menunjukkan tanda kalau dia penyihir beberapa minggu yang lalu. Aku tidak mau mengambil risiko jika ada muggle yang melihatnya melakukan sihir."
"Bagaimana dengan sekolahnya? Di sana juga ada pra-sekolah?" tanya Harry.
"Apa Ginny yang juga menyuruhmu menanyakan itu padaku?" tanya Draco karena ia mendapatkan pertanyaan tidak terduga dari Anak Laki-laki Yang Bertahan Hidup. Harry hanya mengangguk.
"Sistem pendidikan pra-sekolah Spanyol sudah ada jauh sebelum Her-..." Blaise diam sejenak dan melirik Draco yang sepertinya tidak menyadari kalau ia hampir menyebutkan nama Hermione. "Jauh sebelum kalian mencetuskan ide itu," sambung Blaise.
"Aku sudah mengurus semuanya dengan sangat baik," kata Draco lalu ia berkata pada Harry, "Sampaikan pada istrimu kalau Carina sudah mendapatkan sekolah, akan tinggal di rumah yang nyaman dan bagus, akan hidup selayaknya penyihir kecil pada umumnya dan akan tinggal bersama ayahnya yang paling tampan di seluruh dunia."
"Argh, kepalaku sakit," keluh Blaise tepat setelah Draco selesai berbicara. Draco mendelik karena sebal dengan reaksi Blaise. "Kasihan sekali Carina harus menghabiskan waktu dengan penyihir paling tampan di seluruh dunia," tambah Blaise mencibir.
"Kapan kau akan pindah?" tanya Ron. "Astoria tidak ingin melewatkan kepergianmu dan Carina. Dia sudah memaksaku untuk libur di hari keberangkatanmu."
"Tanggal 18," jawab Draco.
"Wah, kau benar-benar kejam," sahut Blaise tapi Draco tidak mengindahkannya.
"Transportasi apa yang akan kau gunakan?" tanya Harry.
"Pesawat terbang," jawab Draco.
Blaise, Harry dan Ron sontak tertawa terbahak-bahak. "Apa kau benar-benar kehilangan otakmu, Malfoy?" tanya Ron yang masih tertawa.
"Memangnya kau berani naik pesawat?" tanya Blaise.
"Jangan meremehkanku," kata Draco tersinggung.
"Kau hanya pernah naik pesawat terbang sekali seumur hidupmu, Malfoy," sahut Harry.
"Terlalu berbahaya bagi Carina menggunakan portkey antar negara," kata Draco. "Aku hanya akan naik pesawat sampai Blagnac karena durasinya hanya sebentar dan melanjutkan menyetir sampai Vielha."
"Kenapa kau mempersulit hidupmu?" tanya Ron. "Carina bisa ber-apparate bersamamu atau menggunakan Jaringan Floo dari Blagnac."
Draco menggeleng-gelengkan kepalanya. "Aku harus melakukan itu semua agar Carina mau ikut denganku."
"Biarkan dia," kata Blaise. "Membantunya mencari rumah di sana saja sudah sangat merepotkan."
"Kau membantunya mencarikan rumah di sana?" tanya Harry.
"Siapa lagi yang bersedia membantunya, Potter?" jawab Blaise. Lalu ia beralih pada Draco. "Pergilah. Jika kau bisa bertahan selama lebih dari sebulan, aku akan memberikan 500 galleon padamu."
Draco tiba-tiba menjadi semangat. "Aku hanya butuh bertahan selama satu bulan kalau seperti itu. Satu bulan satu hari. Aku tidak akan menyia-nyiakannya, Zabini."
"Ini yang dinamakan hidup," kata Ron pelan lalu menuang firewhiskey ke dalam galas. "Yang kaya makin kayak, yang miskin makin miskin."
Blaise langsung memukul pundak Ron. "Katakan itu pada dirimu sendiri, Weasley. Kau baru saja mendapatkan warisan dari Mr Greengrass. Kau sebut dirimu miskin?"
"Dia memberikanku perkebunan anggur untuk dikelola. Aku tidak mendapatkan uang sama sekali," keluh Ron.
"Jika kau bisa mengaturnya dengan baik, 2 atau 3 tahun lagi, kau akan menjadi Weasley kedua yang masuk majalah Gringotts sebagai salah satu penyihir terkaya," kata Draco. "Kau juga bisa mencicipi wine dengan baik, salah satu yang terbaik. Perkebunan anggurnya akan sukses jika kau tidak terlalu bodoh karena terus menerus tidak percaya diri dengan kemampuanmu."
Harry bertepuk tangan dan merasa bangga. "Aku sudah memberitahunya. Kau bisa sukses, Ron."
"Kenapa tiba-tiba jadi membicarakan diriku?" protes Ron. "Kau," katanya pada Blaise. "Kau akan memberikan Malfoy 500 galleon. Untuk apa kau memberikannya uang begitu banyak padahal Malfoy lebih kaya darimu?"
"Aku dan Draco sudah terbiasa melakukannya," jawab Blaise. "Kami sering bertaruh. 500 galleon tidak ada artinya." Blaise menjawab dengan santai dan membuat Ron kesal.
"Kenapa kau tidak pernah bertaruh galleon padaku, Harry?" Ron kembali protes.
"Aku tidak mau mempertaruhkan nyawaku, Ron," jawab Harry. "Astoria pernah mengutuku saat kau ketahuan kalah taruhan denganku ketika Harpies juara liga 6 tahun lalu. Dia membuatku membeku dan mengancam akan membunuhku jika aku bertaruh lagi denganmu. Aku sudah susah payah bertahan hidup dari Voldemort dan menurutmu aku sukarela membiarkan nyawaku melayang di tangan Astoria?"
"Astoria melakukan itu padamu?" tanya Ron terkejut.
Harry mengangguk. "Ginny juga melakukan hal yang sama padaku. Aku tidak mau mengambil risiko."
"Kau takut pada Ginny dan Astoria?" tanya Blaise heran.
Draco, Harry dan Ron mengerang dan memberikan tampang nyeleneh. "Menikahlah," kata Ron.
"Kau akan tahu sendiri. Voldemort tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan istrimu ketika sudah marah," kata Harry pelan sambil bergidik.
2 notes · View notes