Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
Pria kecil itu kini sudah dewasa.
Enam tahun terakhir bukan enam tahun yg mudah baginya.
Entah sudah berapa banyak luka yg sudah dia sembuhkan,
Entah sudah berapa banyak luka baru juga yang dia terima.
Yang jelas tak ada yang mudah baginya.
Lima tahun sebelumnya juga demikian.
Lukanya masih sama,
Tapi ada yang beda di tahun kedua penyembuhannya
Kota, teman baru, pengalaman baru, seakan memberi dia ruang
Memberi dia kesempatan untuk membangun kosep tentang bertambah tua.
Empat tahun selanjutnya merupakan hari-hari yg berat bagi dia.
Kesibukannya di bangku perkuliahan menenggelamkannya ke rutinitas yg padat.
Layaknya tidak memberikan dia kesempatan untuk merenung atau bahkan istirahat.
Dia larut dengan kesibukan-keisbukan luar biasa yg dia buat. sayangnya,
Luka lamanya masih sama, meski ada orang baru yg menemaninya.
Tiga tahun setelahnya.
Dia mulai merasakan ada yang salah.
Ada sesuatu yang terlanjur busuk yg sudah dia pendam sejak lama.
Naasnya, ketika dia sudah mulai menyadarinya tepat setelah semua terlihat mulai beranjak baik2 saja.
Badai baru menempa kehidupannya, dia dengan terpaksa ditemptkan di antar dua pilihan.
Menjadi seorang pembangkang demi cinta dengan julukan durhaka atau,
Menjadi seorang anak baik tombak penerus marga keluarga satu-satunya.
Dua tahun seblumnya pun terlewati dengan tertatih-tatih olehnya.
Luka lama sepenuhnya sudah sembuh, melahirkan konsep baru dalam kehidupannya.
Kini dia harus bergelut dengan realitas luka baru kala itu, berbagai macam perempuan singgah.
Tapi tak ada yg mampu membuatnya menetap. Diapun akhirnya memtuskan untuk mengubur lukanya yg baru.
Tentu dengan cara yg lama, cara yg sama. Tenggelamlah lagi dia dengan fatamorgana kesibukan sepanjang setahun penuh itu.
Bekerjalah dia paruh waktu, mengejar berbagai deadline perkuliahan, mengejar sesuatu yg dia anggap modal masa depan.
Tepat setahun yang lalu.
Sungguh, semesta sepertinya ingin membuat pria kecil yg beranjak dewasa itu kembali membumi.
Sudah cukup mungkin semesta melihatnya terlalu tinggi terbangnya, untuk itu dibantingnya dia dengan keras ke tanah, ke bawah, bahkan hampir dianggap menghilang selamanya.
Ah semesta. Dia bahkan seperti alaram alami dunia yg siap mengingatkan pria yg sudah terlanjur lupa tentang dia di masa lalu.
Maka sepersekian detik di awal tahun lalu, ketika semua tampak sesuai rencanan, ketika semua terlihat begitu indah mempesona. Badai baru menghujamnya bertubi-tubi.
Usahanya yg dibangun bertahun-tahun dengan semangat yg tak pernah padam seakan harus tak punya arti lagi ketika dia tau tidak ada yg bisa mengapresiasi.
Mimpi dari hasil kompromi bertahun-tahun sebelumnya pun tak luput dari bencana ini, apa itu mimpi hasil kompromi jika yg hal yg membuat dia kompromikan mimpinya menjadi satu hal yang sama yang harus dia kompromikan kembali tentang mimpinya.
Tentang percintaan ? Hahaha, semesta tampak sedang bercanda dengannya untuk hal ini. Dia seakan tau, bahwa pria kecilnya yg sudah beranjak dewasa ini perlu ujian dari masa lalu, dari masalah yg lalu yg harus diuji untuk dia yg baru. Pria kecil beranjak dewasa itu selamat, tapi tidak dengan pasangannya.
Dewasa kini, lihat pria yg tak bisa dibilang kecil lagi ini.
Tepat kemarin sudah hampir seperempat abad umurnya, terlalu banyak dan cepat hal berlalu dikehidupannya.
Mengambil dan mimilih keputusan yg tak mudah untuk demi masa depan.
Bertemu kembali dengan sosok lama yg masih dia puja-puja sampai sekarang yg bahkan tak pernah terbesit olehnya orang tersebut kini bisa menjadi satu dari beberapa prioritas dalam kehidupannya.
Mencoba meredam kembali ambisnya, tidak mau terlihat egois di mata siapapun yg dicintainya. Pria kecil yg beranjak dewasa itu kini sudah mulai terbiasa lagi bak seperti sudah diperbarui kembali.
Dengan konsep kehidupan yg dia ambil dari hasil intisari luka-luka lama, kepada semesta ingin dia sampaikan
“Aku siap untuk apapun ketidak pastian yg akan engkau berikan, besok, lusa, minggu depan, bulan depan atau bahkan tahun depan. Aku siap”
0 notes
Text
Faktanya.
Bukan kapasitasku untuk mengakui bahwasanya senyumkulah yg paling manis di sore ini, bukan.
Jadi kalo tidak keberatan mungkin,
Kamu mau melakukannya untukku ?
Atau
Kamu mau mengakui kalo ternyata senyumku itu bagian kecil dari banyaknya bagian kesukaanmu yg ada dariku ?
Tak masalah juga, jika memang begitu.
0 notes
Text
DINASTI POLITIK
Sungguh, sebuah topik yg sangat tidak bersahabat dengan umur pribadi (kalo diinget-inget lagi), dan tentunya bukan topik yg renyah untuk memulai tulisan gw di sosial media baru, yg menurut gw sendiri wadah yg baru ini, bukan wadah yg tepat-tepat sekali untuk menuangkan isi kepala yg berbau pikiran-pikiran orang (yg harusnya) orang yg berkompeten untuk membahasnya. Tapi, biarkan gw beri sedikit perspektif (pembenaran) kenapa hal ini yg lumayan menggilitik gw.
Prolog
Ini berawal dari beberapa minggu sebelumnya, ada nama dari anak seseorang yg sangat penting di negara ini menjadi tranding topic pembahasan di lini masa sosial media Twitter karena pencalonannya sebagai salah satu pimpinan daerah setingkat kabupaten kota. Dengan iseng waktu itu, gw buka dan baca beberapa link berita dari paltform media berita yg seliweran, hasilnya cukup mengejutkan buat gw pribadi.
Fakta-fakta lain selain daerah yg dipilih anak mahkota merupakan daerah yang sebelumnya menjadi daerah kekuasaan orang tuanya, Juga tertera beberapa fakta lain di media berita ini tentu mengundang pro dan kontra bagi mereka yang membacanya, untuk itu gimana tanggapan gw secara personal soal hal ini ? Kenapa gw mau mengotori sosial wadah baru ini dengan dunia yg bukan bidang gw secara latar belakang pendidikan gw pribadi ?
Sebelum kita masuk dalam sudut pandang pribadi, alangkah baiknya kita mengenal apa itu sebenarnya Dinasti Politik ?
Secara terminologi atau istilah, mengutip dari sumber link pemersatu para mahasiswa (wikipedia) Dinasti Politik adalah kekuasaan secara turun temurun dilakukan dengan hubungan darah tujuannya untuk mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan.
Tentu di luar sana masih ada beberapa pengertian lain tentang hal ini, bahkan sekelas lembaga hukum tertinggi negri ini pun juga memberi ruang untuk sekadar menjelaskan apa itu Dinasti Politik, yg menurut gw itu lucu mengingat sejarah negri ini pernah dipegang oleh penguasa yg hampir menyentuh setengah abad lamanya, hihihi. Oke mari kembali ke topik sebelum ada tuakang bakso lewat membawa walki talkie.
Korelasi.
Dengan pengertian di atas, timbullah gelombang orang-orang kontra yg menilai adanya pencalonan anak mahkota pimpinan negri ini, telah mencoba melakukan praktik Politik Dinasti. Bahkan ada beberapa dari mereka menganggap hal tersebut telah mencoreng perjuangan revormasi demokrasi negri ini (wadaw).
Padahal, jika menggunakan pribahasa logika bahwa buah tidak akan jatuh jauh dari pohonnya. Tentu apa yang telah menjadi keputusan seorang putra mahkota negri ini tidak sepenuhnya menjadi hal yg bisa disalahkan, benar begitu kan hehe.
Menyelami asumsi sisi mereka yg ber-kontradiktif.
mereka yg menolak (nyinyir hehe) atas apa yg dilakukan oleh kaka dari salah satu youtuber kebanggaan kita ini, mempunyai alasan tersendiri. Maka asumsi paling bisa ditebak ialah, ketakutan akan adanya praktik nepotisme yg sudah dan akan terjadi kedepannya.
Kok sudah terjadi ? Fakta lain yg sempat diungkit prolog di atas yg tertera di platform media berita daring, ialah adanya campur tangan sosok kepala rumah tangga (negara) dalam keputusan partai pengusung sang anak yg menginginkan pencalonan dirinya dalam pemilihan pemimpin kepala daerah setingkat kabupaten kota.
Nepotisme Apa yg akan terjadi kedepannya ? Berhubungan gw adalah orang yang sejauh ini punya prinsip hidup untuk hari ini, pertanyaan ini sepatutnya gwa kasih ke pembaca yg mugkin daerahnya sempat atau sedang merasakan politk dinasti, uhuk!
Pengalaman dan perspektif pribadi.
Sebelum ada pertanyaan nyinyir, “LAU SOKAP, Kok merasa pantas ngebahas ini ?” biar gw cerita sedikit.
Jalan cerita putramahkota negri ini sejatinya juga terjadi di kehidupan gw, tentu ini ketika dia masih menjadi pengusaha, belum memutuskan buat terjun ke dunia bapaknya. Dunia gw dengan dia secara narsistik pribadi tidak jauh berbeda selain lingkup dan jalan yg kita pilih masing-masing.
Gw sendiri berasaal dari latar belakang orang tua yg laki yg sedang menjalankan amanah rakyat dalam ringkup mikro. gw mencoba menggunakan susunan kalimat yang tidak terlihat angkuh :) sangat susah ternyata teman-teman. Hehehe
Secara pemilihan wadah pengalaman, bedanya sang anak mahkota negara mempunyai citra di awal sebagai pengusaha. Sedangkan gw, anak mahkota kelas mikro (heheh) memilih dunia pendidikan sebagai citra awal sebelum dikenal orang-orang sekarang (mungkin) sebagai sarjana pengangguran yang senang lari sore di lapangan ibukota kabupaten.
Pengalaman apa yang bisa gw bagi ?
Masih teringat jelas kejadian percakapan waktu itu, ketika awal kepempinan orang tua gw. Tercelutuk gagasan dari seseorang pemangku jabatan koalisi partai pengusung kepada ayahanda (azegh), untuk memberikan satu jabatan organisasi external di bawah pemda ke gw waktu itu. Ayahanda (azegh) dengan tegas tanpa memikirkan prasaan sang anak yg sedang mendengarkan menolak gagasan tersebut.
Sebuah keputusan yg sebenarnya tidak terlalu menjadi perhatian gwa pribadi waktu itu. Tapi semakin kesini, gw semakin paham. Keputusan yg ayahanda ambil tentu sudah melewati proses menimbang super kilat ala paket ekspedisi yg bekerja sama dengan ecommerce dengan melibatkan fakta situasi bahwa gw masih (senang) berada di bangku kuliah.
Dilain sisi dengan pemahaman gw sekarang, jika mengambil dari sudut pandang etika tentu hal tersebut sangat tidak etis jika terjadi. Bagaimana tidak, kepercayaan untuk mengemban amanah yg besar itu tentu tidak akan mudah jika dipegang oleh pria remaja beranjak dewasa belum selesai masa puberitasnya. Itu hikmah yg bisa gw ambil hari ini.
Jika membandingkan dari latar belakang sosok ayahanda sendiri, beliau tentu belum menginginkan anaknya untuk memasuki dunia dia yang baru-baru ini saja dijalankannya. Mungkin menurut pengalaman beliau, gw pribadi masih jauh atau bahkan belum diharapkan untuk cemplung ke dunia dia yg baru. Tidak ada yang tau, tidak gw tidak juga kalian yg membaca ini.
Perspektif Pribadi.
Apa yg menjadi keputusan sang mantan pengusaha mencakup anak mahkota negara tentu sudah melaui proses menimbang sang pemegang kuasa rumah tangga juga negara.
Pengalaman sebagai seorang pengusaha yang juga merupakan latar belakang yg sama dengan pemimpin negara ini, mungkin menjadi tolak ukur sendiri bagaimana kepercayaan secara internal keluarga untuk bisa menciptakan keputusan yg besar hingga membantunya seperti apa yang diwarkan dalam media berita daring. Kita semua tidak tau hal itu, bukan ?
Maka yg sepatutnya menjadi fokus, seharunya ialah menguji sang anak mahkota. Apakah dengan pengalaman yg mirip sang ayahhandanya dapat dibenarkan dan diberikan kepercayaan senagai pemimpin daerah tingkat kabupaten kota ?
Jika yg ber—kontradiktif dengan menggunakan alasan menolak politik dinasti, sepatutnya bisa mengambil langkah menjadi oposisi dalam pertarurang pemilihan daerah atau setidaknya mengedukasi para rakyat daerah pemilihan untuk lebih berhati-hati dalam menentukan pilihannya.
Sementa yang pro ? Yaa tentu, siap untuk berjuang untuk mencapai apa yg mereka inginkan tentunya.
Kita yg di sini mah, ngopi sambil netflix an aja hehehe.
Ciaaaaoooo, Cukup sekian dan Terima Kasih!
0 notes
Text
Jadi begini, saya ingin memulainya lagi. Lebih tepatnya mungkin, saya ingin memaksakan diri lagi. Isi pikiran beberapa bulan ini begitu penat, saya butuh tempat untuk menuangkannya, mengurainya agar tak menjadi tumpukan sampah di batin maupun di kepala.
Di sisi lain, mungkin tempat ini akan menjadi tempat penyimpanan yang tepat untuk menyalin beberapa sampah lain yang sudah terbentuk sebelumnya, dalam beberapa catatan virtual yang sudah lama mengendap di penyimpanan awan perangkat saya.
Atau mungkin beberapa sampah baru nanti juga akan di tuliskan fresh dari isi pemikiran saya,
entahlah.. kita lihat saja mana yang lebih dulu direstui semesta.
0 notes