Text
Kebahagiaan dan Materialisme : Jawaban Hidup Adalah Uang-Uang-Uang
Minggu ini merupakan minggu yang sibuk dalam pemerintahan republik. Terjadi lima tahun sekali, diwarnai beberapa drama, akhirnya kita sudah punya jajaran menteri yang dilantik pada rabu lalu. Ribuan orang berkomentar, dari sudut pos ronda bersama satpam kompleks, obrolan bapak-bapak warung, ibu-ibu di pasar, hingga kumpulan kelas menengah melalui cuitan di twitter.
Saya akui, saya merupakan salah satu yang bercuit ria di twitter. Terutama sekali soal penunjukan mas Nadiem Makarim sebagai Mendikbud serta omongan mengenai pendidikan dan industri yang dimunculkan pada saat pelantikan oleh presiden. Cuitan itu saya jabarkan dalam thread singkat mengenai hal esensial untuk pendidikan saat ini, pada intinya saya menyangkan pernyataan mengenai orientasi pendidikan kita yang diarahkan pada industri. Jelas sudah, semua bidang di negara ini sekarang difokuskan untuk percepatan pembangunan ekonomi tanpa pandang bulu, dengan harga apapun.
Satu hal yang paling melekat dikepala saya adalah persoalan uang-uang-uang dan kaitannya dengan depresi. Pernyataan saya itu dibalas oleh seseorang di twitter, bahwa memang uang lah yang akan membantu kita keluar dari depresi, memenuhi kebutuhan hidup, dan alat untuk menggapai banyak hal dalam hidup. Langkah pemerintah fokus pada industri sebagai output pendidikan justru bagus karena akan menaikkan taraf hidup masyarakat yang pada akhirnya akan mengurangi depresi.
Semalam tadi saya terdiam, tak sepakat, tapi saya tak punya konter argumen. Saya tak mau berdebat untuk hal yang tak saya pahami sepenuhnya. Bisa jadi memang saya yang salah kan? Thread saya itu terlanjur di-retweet dan di-like ratusan orang, sementara penulisnya gamang dengan argumennya.
—
Persoalan keterkaitan antara depresi dan uang (atau material secara umum) merupakan persoalan yang begitu luas dan tak bisa dijabarkan secara singkat. Saya takut ada banyak hal yang akan saya lewatkan, banyak sudut pandang yang terpaksa saya abaikan, hanya gara-gara saya berusaha untuk mempersingkatnya. Namun orang-orang semestinya tahu bahwa konsep keterkaitan kebahagiaan hidup dengan materi itu bukan hal yang baru dibicarakan secara akademik belakangan ini. Kajiannya sudah lama sejak manusia belajar menelaah filsafat. Kajian materialisme secara mendasar bahkan punya bahasan ilmunya sendiri, yang kemudian tersebar dalam penelitian di berbagai cabang ilmu lainnya, seperti psikologi, komunikasi, ekonomi, dan politik.
Pagi tadi saya mendengar satu podcast ketika di kendaraan menuju psikolog untuk berkonsultasi soal kondisi pribadi saya. Si penyiar bicara mengenai cara keluar dari pola pikir materialis yang merusak kehidupannya di masa lalu. Ia bicara mengenai bagaimana dunia saat ini, dimanapun dan kapanpun, sedang menggiring semua orang dengan pemahaman bahwa memiliki sesuatu akan membuat kita nyaman dalam hidup. Hampir semua sistem ekonomi ditopang oleh marketing dan advertising, memberikan pesan diam-diam di jalanan menuju tempat kerja bahwa kita mesti membeli sesuatu hari ini karena kita butuh hal tersebut.
Maka pada akhirnya wajar saja jika banyak orang berpandangan bahwa tanpa uang mereka tak akan bisa makan, mereka tak punya tempat tinggal, tak bisa berkegiatan sosial, tak bisa bahagia dan lain-lain. Pun terjadi pada saya.
—
Karena ternyata hari ini layanan psikologi tidak menerima pendaftaran, saya pun menuju perpustakaan untuk mencari buku dan jurnal mengenai materialisme dan konsep kebahagiaan. Agak lucu memang, karena saya ragu bisa membacanya dengan lapang dada.
Mayoritas penelitian yang saya baca beserta rujukan lainnya menunjukkan bahwa memang keterkaitan antara kepemilikan barang/status sosial sangat terkait dengan kebahagiaan diri. Mengingat dunia dipenuhi dengan iklan dan ajakan menjadi konsumen, saya rasa wajar jika banyak orang tak tahu jika mereka bisa membuat gubuk sederhana di hutan, kemudian memulai kehidupan purba seperti yang dilakukan seorang youtuber melalui channel Primitive Technology.
Berapa kali kita melihat iklan mobil hari ini? Satu keluarga berkumpul dan jalan-jalan bersama mobil barunya. Memperlihatkan mesin yang handal untuk keperluan transportasi yang nyaman, seperti berada di rumah sendiri, dekat dengan orang yang dicinta. Di tv, di koran, di majalah, di laptop, di hp, di twitter, di youtube, di papan reklame, dimana-mana!
Jadi ketika disodorkan kuisioner yang berisi pertanyaan, “Apakah anda senang bisa membeli mobil dengan uang sendiri?” Kebanyakan orang akan menjawab iya!
Lalu pembicaraan mengenai perawatan tubuh dan konsep ketampanan/kecantikan ideal. Sungguh, masalah konsumerisme yang menyebar bagai jamur di musim hujan benar-benar sudah jadi bagian dari kehidupan sehari-hari yang tak lagi kita sadari. Kita pun juga bagian yang ikut menyebarkan rasa ingin untuk memiliki sesuatu pada orang lain lewat postingan foto di instagram.
Sungguh, dalam standar materialisme, saya benar-benar tak bahagia, dan saya memang tak bahagia. Keinginan bunuh diri selalu datang tiba-tiba, mengganggu saya dalam malam, membuat saya tak bisa tidur hingga pagi. Baru malam tadi saya minum obat tidur agar tak lagi mengalami kecemasan-kecemasan akan diri.
—
Saya masih bingung untuk menjawab argumen bahwa uang adalah hal utama dalam hidup. Konsep abstrak soal nilai mata uang dan barang-barang konsumsi beserta status sosial yang menyertainya merupakan pukulan telak untuk manusia modern. Kita tak punya jalan keluar lain, sudah terbiasa seperti ini dari lahir, maka pilihannya dua, menikmatinya atau mati menderita. Bagaimana bisa saya mengelak terhadap konsep kepemilikan dan kebahagiaan diri sementara dalam dunia pendidikan saat ini hal-hal tersebut masih terjadi, dan merupakan bahasan besar terkait akses masyarakat terhadapnya.
Di berita saya masih mendengar anak sekolah dasar yang bunuh diri karena seragam sekolahnya basah, ia hanya punya satu seragam itu, tak ada gantinya, takut dimarahi guru. Hati siapa yang tak menangis mengetahui kabar itu? Dan kita benar-benar tahu, bahwa tak cuma anak tersebut yang hanya memiliki satu seragam untuk sekolah, ada banyak orang tua yang tak mampu membelikan seragam tambahan untuk anaknya.
Karya-karya sastra kita juga masih dipenuhi harapan bernada materi, yang tak saya salahkan karena mimpi semua orang adalah ingin bahagia, dan cara bahagia adalah hal yang sangat subyektif. Cerita seperti Sepatu Dahlan persis menggambarkan bahwa kebahagiaan kita masa ini adalah kemampuan untuk dengan bebas memiliki banyak hal.
—
Entahlah, saya tak tahu ingin menjawab apa. Saya tak punya jawaban untuk pertanyaan itu. Bahkan mungkin Tuhan hanya tertawa mendengar kita manusia ribut soal kebahagiaan, karena ia tahu mana yang paling benar. Ini tak membuat saya pusing, hanya penasaran dengan peradaban kita yang dibangun oleh ketidaktahuan. Kita terus mencari, dan pencarian itu yang akan terus membangun peradaban. Dan tentu semua ini hal yang lucu bagi saya yang keinginan hidupnya sudah tak ada lagi.
Sebelum menutup, saya ingin bertanya, mengenai kehidupan manusia saat ini dan materialisme sebagai dasar kita mengejar kebahagiaan. Benarkah kita harus merawatnya melalui pendidikan di sekolah, menjadikannya cita-cita bangsa, dengan cara mengarahkan pendidikan kita jadi bahan bakar penggerak industri? Apa nilai manusia kita memang benar sebatas nilai pembangunan industri negara? Siapapun yang ingin menjawab, semoga bisa mencerahkan banyak orang.
Terima kasih sudah membaca, tabik!
0 notes
Text
Belakangan jika saya membaca/mendengar jargon pendidikan formal yang menyebutkan "Anak di masa kini adalah pemimpin di masa depan." Rasa aneh merasuki diri saya.
Dibandingkan pemimpin, dengan sistem yang dijaga sekarang, mereka lebih cocok disebut birokrat.
23 November 2017
0 notes
Text
14 November 2017
Cukup lama sejak terakhir kali buka tumblr.
daaaan
Dinihari ini di tengah kegabutan tak bisa tidur (atau memang sengaja tak tidur), saya mengunduh kembali aplikasinya.
Hmm oke, ada banyak perubahan. Tampilan tab pindah ke bawah, bagian penulisan makin kaya fitur, dan yang paling penting :
Bisa milih font di bagian judul!!
Saya jadi tertarik lagi untuk menulis di sini. Seperti masa-masa galau dulu, namun bedanya kini ingin diisi dengan curhatan seputar kerja dan aktivitas.
Semoga konsisten ya, dan semoga para pembaca seneng ngikuti.
Sampai jumpa :)
0 notes
Photo
Gerbong
Peradaban telah silih berganti meninggalkan kehidupan manusia, menyisakan satu hal yang manusia sebut sebagai kemajuan. Pada sisi lain, kehidupan manusia juga telah saling meninggalkan peradaban. Kita anak yang lahir dan mati dalam kuasa waktu, jalan panjang peradaban yang tak berakhir. Seperti kereta yang melaju di atas rel, ruang-ruang hidup adalah gerbongnya, dan stasiun menjadi tujuan.
Dahulu sekali aku berbaris rapi di depan loket penjualan tiket bersama sekian orang. Di depan, tepat ketika wajahmu berputar, adalah kali pertama waktu mempertemukan mata kita. Menyusun serat-serat kecil menjadi benang yang akan merentang sepanjang jalan penentuan takdir. Dan jelas sudah segalanya ketika kereta yang kita naiki sama.
Bertahun-tahun gerbong ini dilalu-lalangi banyak orang. Mereka datang sekedar untuk bertanya, hingga mengisi kursi kosong yang tak sempat terisi penumpang. Kita berbagi roti dan minuman dan mendiskusikan berbagai kisah yang akan jadi pelengkap masing-masing.
Hingga tanpa kusadari kematian itu dekat, dan ia tak bernama esok.
Satu persatu orang menemukan stasiun tujuannya, dan mereka akan meninggalkan gerbong ini. Semakin sepi perjalananku merentang peradaban ini..
Kau tahu apa yang lebih menyedihkan dibandingkan kematian? Yaitu tak kuasanya kita melawan ketika ia datang semakin dekat dan semakin dekat. Sudah jutaan manusia mencoba abadi, berulang sejarah yang jadikan segalanya sebagai pelajaran, bahwa kereta akan mencapai tujuan.
Di sinilah kita, dalam gerbong yang melaju di atas rel. Stabil menuju stasiun akhir. Di sebelahmu, aku melihat untaian jari yang memegang lenganku. Kepalamu tertunduk tidur menekan bahuku. Akan kubelai pipi lembut itu andai penumpang lain tak terlalu sering melihat pada kita, pasangan yang kasmaran ini.
Aku suka kehidupan sebagaimana kereta yang melaju. Ia terkadang berhenti pada satu momen untuk menaik-turunkan penumpang di stasiun. Sama halnya denganku yang seringkali menemukan diri terjebak pada gerbong menuju Jogjakarta. Tengah malam, sibuk menulis pesan di handphone, menerima balasan darimu, berharap pagi nanti wajah cerah menyambutku di Stasiun Tugu.
Setahun sudah, dan esok adalah janji yang tetap ada karena stasiun tujuan kita belum lagi tercapai.
Dulu sekali, kita menghabiskan seluruh malam dengan duduk di atas bangku pohon di ujung Malioboro. Melihat orang berlalu-lalang. Kadang mereka menggoda kita dengan dagangannya. Hingga pagi datang dan kita mesti berpisah kembali. Itulah kemudian yang menjadi pembuka kisah kita bertemu dan berpisah. Perjalanan-perjalanan yang kita lalui dengan kereta.
Ah, tak pernah terbayang olehku seumur hidup kereta akan menjadi seromantis ini. Ia membawaku pada kebahagiaan ketika menujumu, dan sebaliknya ia menusuk hatiku ketika dengan terpaksa aku kembali menuju kotaku. Aku rasa memang kisah kita adalah bagian sempurna dari penggambaran kehidupan, segalanya dibawa oleh gerbong waktu yang terus melaju.
Tidurmu nyenyak, aku bahagia. Teruslah peluk lenganku. Teruslah sandarkan kepalamu padaku. Sampai waktunya nanti kita sampai pada stasiun tujuan.
Jatinangor
10 Agustus 2017
Setahun sudah Padang – Bukittinggi – Bandung – Sumedang – Yogyakarta – Solo
Dan menyusul petualangan di tempat lainnya.
Untukmu tersayang, Puti Al-fath Didi, sahabat duduk di gerbong hidupku.
0 notes
Text
Entah Apa
Orang bilang kita adalah bagian dari perubahan, kita yang akan membuat perubahan. Tapi mengapa orang-orang tak mau berubah? Penghargaan-penghargaan, rasa bangga, dan hormat yang berlebihan sesekali membawa kita terbang. Selebihnya kita terkekang olehnya, hilang. Tengoklah sampah yang berserakan di jalan, mereka tak menuntut, hanya mata kita yang buta. Sehingga mulut kita pun ikut berbicara seperti sampah. Seberapa jauh perjalanan yang akan kita tempuh hingga kita benar-benar siap membuat perubahan? Seberapa banyak sampah yang akan kita sisakan sebagai saksi bahwa orang ini dan itu pernah hidup? Atau sebenar-benarnya kita memang tak akan membuat perubahan. Entahlah.
0 notes
Photo
Hujan bisa menumbuhkan bunga secantik ini, dan tetap hidup siapa yang tahu?
0 notes
Photo
#BukanLiburan tapi silaturrahim lucu ke Pangandaran :))
0 notes
Photo
Siapa bilang kita kekurangan pemuda proaktif? Malam lalu saya bertemu mereka di Sekolah Legislatif 2016 BPM Gama FIB Unpad. 😁 Semoga jadi pemuda yang membawa perubahan baik ya. Amiin (at Bumi Perkemahan Kiara Payung - Jatinangor, sumedang)
1 note
·
View note
Text
Mora
Tangan dan kaki saya begitu dingin. Kehangatan kopi yang empat gelas berturut-turut tak kunjung mengubah temperaturnya. Suatu anomali, ketaknormalan, berada di tempat yang tak seharusnya.
Saya ingin berbicara kepada siapapun yang mau mendengarkan. Sayangnya hampir semua orang tidur, dan yang lain tak mau mendengarkan omong kosong saya. Kosong seperti masa depan yang tak bisa kita prediksi. Akan jadi apa saya dan kamu satu, dua, tiga, sepuluh, lima puluh tahun ke depan?
Hujan belum juga berhenti, dan saya meringis tak bisa menatap bintang sekian malam ke belakang. Layaknya malam-malam yang saya habiskan bersamanya di telepon dua bulan ke belakang. Bercerita tentang apapun yang tak mungkin terbayang oleh kebanyakan orang. Air yang menetes deras dari langit menutup langit, bersama gelap menutup malam.
Begitulah. Saya kehujanan dan bertahan kedinginan. Saya pun dengan bodohnya masih bercelana pendek dan berkaos tipis. Namun ya ini maksudnya, ini diri yang saya bentuk. Dan saya harap masa depan tak perlu khawatir dengan keberadaan saya malam ini.
Sampai jumpa..
5
0 notes
Text
Rerampai Cinta
Membayang rerumputan yang tumbuh merambat di permukaan padang, sejauh jangkauan mata, semua hijau. Lalu nyaris tanpa gurat gemawan terhampar lautan langit biru. Anak-anak kecil berlarian menarik benang yang di bawa layangan, seiring bersama angin membelai wajah-wajah tanpa dosanya. Pekikan-pekikan kecil dan tawa gembira, segalanya menyejukkan.
Suasana yang lama telah saya rindukan, tempat yang tak lagi saya datangi menahun. Cinta. Dan saya menemukan jalannya lagi, iya , saya kasmaran berat. Jadi tolong jangan salahkan saya jika bertutur kata layaknya orang kasmaran lain. Tak ada yang salah dalam cinta, dan tentu, pun tak juga ada yang benar. Kita semua sama, makhluk pencinta. Hanya waktu yang membedakan.
Untuk kasus saya.. jarak juga membedakan.
Pertama-tama agar tak ada kesalahpahaman (dan hujatan mengejek bernada lebay yang bisa saja muncul), bukan berbeda zona waktu. Karena tentu saya tak jatuh cinta pertama kali di timezone. Ini soal perbedaan ketersediaan waktu, tingkat kebosanan, dan pengaruh fisik. Dan ini erat kaitannya dengan jarak.
Ah.. segitu saja. Saya ingin tidur memimpikannya..
1 note
·
View note
Text
Menjelang Subuh 1 Oktober
Kembali membuka pagi, dingin Jatinangor menusuk-nusuk saya, membuat gelisah di 1 Oktober. Jika dulu rasanya menyenangkan menyambut bulan ini karena lagu semaput ‘Wake Me Up When September Ends’, kini semakin bertambah tahun saya bingung. Entahlah, dunia berputar, orang tak lagi membicarakan lagu tersebut. Yang ada di September kemarin lebih fenomenal. Drama-drama duniawian yang sesumbar tak senonoh di ruang publik; sinetron dengan plot utama sidang, Mario yang tak sesuper ucapannya, Pilkada ibukota, muda-mudi penuh dosa dan ‘karya’-nya, serta ajang nobar JAV dari videotron.
Sungguh, jika dibilang tak gaul saya akan menolak. Saya tahu kesemuanya, dan saya ikut membicarakan hal-hal tersebut di beragam lingkungan pertemanan. Termasuk PPAP yang lucunya tak tergambarkan itu. Namun hati saya tetap saja seringkali mencelos jengkel mengingat tayangan-tayangan yang progresif seperti saya inginkan tak kunjung naik. Sebagai mahasiswa yang mengaku kritis, saya heran kenapa peringatan hari-hari kelam sepanjang September ini tak mendapat tempat dalam isu hits di masyarakat. Terlebih media arus utama secara umum hampir tak menyentuh isu-isu pelanggaran HAM yang tak kunjung usai kejelasannya. Boro-boro selesai, yang ada terus bertambah setiap hari. Lihat saja penggusuran di daerah Kebun Jeruk oleh PT. KAI di Bandung serta masyarakat di bantaran kali Ciliwung, Jakarta. Pemerintah serta merta merampas hak masyarakat dengan beragam dalih, yang intinya menihilkan kehidupan miskin perkotaan, kemudian hingga ikut memainkan opini melalui media.
Oh mau jadi negara apa kita? Jadi negara penindas untuk masyarakat miskinnya, terlihat jelas begitu. Semua elemen bersatu padu dalam konspirasi maha jahat, yang saya yakini didalangi oleh Zionis.
Iya saya memang nyinyir, terus terang. Karena ruang publik saya terus-menerus dirampas para perusahaan pengejar rating! Mereka, para jurnalis-jurnalis hebat itu, ketika berkuliah mendakwa diri sebagai The Fourth Estate dengan kebanggaan setinggi langit. Ketika masuk corong industri?
…
“Kami tentu perlu dana untuk tetap bisa menghidupkan media.”
Sebuah omong-omong pasca memasuki industri.
--
Saya nyinyir terutama karena baper soal Tragedi ’65. Untuk membuat peristiwa ini kembali diingat saja sebegitu susahnya. Biasanya setiap tahun ada beberapa media yang gencar memberikan informasi seputar tragedi tersebut di hari-hari menjelang akhir September. Namun tahun ini wacananya kalah total untuk menjangkau masyarakat banyak karena media arus utama menyesakkan diri dengan kesadaran palsu ala-ala industri hiburan. Segalanya dijadikan drama. Terutama soal tragedi videotron kemarin, benar-benar menutup kanal informasi lain tentang Tragedi ’65. Hingga saya nyaris percaya bahwa nobar tersebut diinisiasi oleh golongan yang tak suka terhadap upaya rekonsiliasi, membelokkan perhatian publik.
Sampai kapan masa hidup kita berkalang sejarah tunggal versi orde baru? tertutup darah-darah pembantaian manusia, serta anak-cucunya yang masih di bawah tekanan mental hingga hari ini.
Satu hal yang bisa saya lakukan pagi ini hanya memberi saran padamu. Yaitu untuk mencari, PKI. Jika setelah mencari kamu membenci, maka rasa bencimu beralasan. Bukan seperti hari ini dan hari-hari ke belakang. Namun jika tidak membenci? Saya akan mengucapkan terima kasih, kita bisa memulai rekonsiliasi.
Lalu untuk media arus utama? Ayo bersama-sama golput Pilkada DKI agar upaya kampanye mereka sia-sia, dan uang modalnya tak kembali. Haha
--
1 Oktober 2016, menjelang Subuh.
0 notes
Text
Jujur Itu Bodoh
Iya, Jujur Itu Bodoh
Komunikasi yang baik adalah komunikasi yang terbuka satu sama lain bukan? Ya meski beberapa orang ternyata memilih tak membicarakan sesuatu demi menjaga komunikasi. Kamu ingin menjadi orang yang jujur dan terbuka, namun masyarakat menghargai sedikit kebohongan demi kelangsungan struktur sosial yang sudah mapan. Perkataan jujur dan terbuka tersebut tarik-menarik dengan paksaan untuk menutupi sesuatu yang berpotensi melahirkan konflik horizontal maupun vertikal. Kamu bisa jujur, kemudian mulai kehilangan orang-orang di sekitar.
Secara sederhana saya katakan, komunikasi yang baik adalah paradoks. Suatu bentuk omong kosong yang dijual para pakar hubungan. Apapun yang kita lakukan untuk menjalin hubungan adalah bagian dari mencitrakan diri sendiri di depan orang lain, pun sebaliknya. Proses timbal-balik ini menghasilkan masyarakat dengan wajah tertutup topeng, menghiasi jalanan. Kecuali beberapa, mereka yang menjunjung prinsip, yang saya pikir nyaris tak ada. Bentuk kejujuran sejati hanya terjadi ketika manusia menuju kematiannya, termasuk tidur. Semua orang melepas make up-nya, membaringkan diri menuju waktu tak tentu di dunia paralel. Ada yang tertidur dengan mulut terbuka, ngorok, ileran, bahkan sambil berjalan. Mereka jujur ketika tidur.
Maka jika pasanganmu sedang tidur di dekatmu ketika kamu membaca tulisan ini, coba perhatikan betapa lugu wajahnya. Ia tak peduli apapun yang terjadi di dunia, oh bahkan sama sekali tak tahu. Jika ia membencimu, bisa saja ia mengigau sambil mengutarakannya. Bagi yang tak punya pasangan, silakan buktikan dengan merekam sendiri tidurmu. Apapun yang kamu lakukan ketika tidur, adalah bentuk kejujuran murni yang tak mungkin dibuat-buat.
Apa yang akan kamu katakan jika masakan pacarmu tak enak? Tidak, kamu tak mengatakan apapun. Bahkan mungkin akan memuji. Apalagi jika baru dua hari pacaran. Bisa-bisa kamu kembali menyandang status jomblo. Iya kan? Dan jujur, jika saya katakan saya membenci istilah Hijab Syari, maka saya akan harus bersiap-siap kehilangan beberapa kenalan. Begitu harganya. Iya kan, mba berhijab syari, gebetanku, yang cantik? Jika saya katakan saya tak menyukai Felix Siauw, maka saya harus bersiap.. oh tunggu, saya memang tak pernah menyukai Felix Siauw. Lalu jika saya mengatakan film AADC 2 tak menarik, saya akan kehilangan sebagian lagi kenalan dari penikmat film kelas sok paham film.
Kadang kejujuran memang diartikan sebagai sikap kasar dan tak peduli. Kita akan kehilangan beberapa orang yang memandang dirinya sebagai bagian dari struktur. Kehilangan kenalan. Namun jujur, saya menyukai fakta bahwa bersikap terbuka dengan kejujuran akan hanya meninggalkan kita dengan beberapa teman sejati. Jika tak ada teman yang tersisa, (maaf saya tertawa sambil menulis bagian ini) bisa saja kamu sudah mencapai puncak kejujuran, atau dengan kata lain, terlalu bodoh. Yap, jujur juga diartikan bodoh oleh masyarakat kan?
Kalau begitu tentu saja, orang-orang yang ada dibalik layar kaca setiap hari adalah orang pintar. Bapak-ibu yang duduk di Senayan apalagi. Para penggerak pemerintahanlah yang paling atas. Sekali mereka menjadi bodoh, karirnya pasti… (coba lihat paragraf sebelumnya) hilang.
Kemudian, jika kita kembali ke pernyataan saya di awal tulisan ini, bisa kita simpulkan bahwa komunikasi yang baik tercipta dengan mencampuradukkan sikap jujur dan bohong. Semuanya dicitrakan dalam ucapan dan perbuatan, kemudian menjadi bentuk interaksi normal dengan sekelilingmu. Jadi bagaimana caranya membedakan mana yang jujur jika begitu bentuk dunia bekerja? Gampang, sudah saya beritahu sebelumnya, cari saja orang yang tidur. Kalau memilih di Pemilu nanti, cari yang paling sering kedapatan tidur ketika sidang.
0 notes
Text
KKNM : Isi Pikiran
Memulai !
Saya terbangun ketika mendengar suara dua orang perempuan di rumah pondokan laki-laki. Setengah sadar saya mengutuk diri sendiri karena merasa kurang tidur, malam tadi baru tidur pukul dua, dan kantuk membuat saya tetap ingin melanjutkan tidur. Namun tentu saya tahu artinya, bahwa sudah saatnya kami belanja ke pasar untuk kebutuhan masak seharian nanti. Saya duduk dan memerhatikan sekeliling, masih banyak yang tidur, namun tim piket sudah siap. Ada Renaldi koor desa kami, Alek, Ical, Iyan, Rosita, dan Yulia. Renaldi yang melihat saya bangun langsung mengingatkan saya soal piket belanja, bersih-bersih dan memasak hari ini.
Oke, pagi pertama dan pasar. Sepertinya baik. Saya ke kamar mandi, berwudhu untuk shalat, kemudian ke pondokan perempuan masih dengan sarung. Di sana mereka sudah rapat kecil untuk menentukan akan masak apa hari ini. Saya bergabung dan memerhatikan masih dengan kepala setengah pusing. Setelah itu kami berangkat menuju pasar. Iya saya ke pasar masih dengan mengenakan sarung. Masa bodoh..
Orang-orang bilang Indramayu merupakan salah satu sentra penghasil ikan terbesar di Jawa Barat. Mereka memiliki tempat-tempat pengolahan ikan yang jumlahnya lebih banyak dibandingkan dengan tempat lain. Hal tersebutlah yang membuat kami memilih ikan segar mana yang akan kami beli, pilihannya beragam, ada bandeng, tongkol, cumi, udang, hingga pari. Saya tak terlalu hapal jenis-jenis ikan, jadi secara sederhana saya beritahukan bahwa jenis ikannya banyak. Selain itu, Indramayu juga terkenal sebagai lumbung padi-nya Jawa Barat. Jika kamu tinggal di Bandung dan suka jajanan yang menggunakan nasi, atau memasak nasi yang berasnya dibeli dari pasar, bisa jadi yang kamu makan adalah hasil persawahan yang membentang luas di sini. Istri pak Kuwu menyarankan membeli beras langsung ke seorang tetangga yang diolah langsung dari sawah di sini, dan harganya lebih murah dibandingkan membeli di pasar atau tempat distribusi akhir lainnya.
Sebentar, berhenti dulu jika kamu berpikir bahwa desa tempatku ber-KKNM adalah desa pinggir laut pedalaman yang sawahnya membentang luas dari ujung ke ujung. Jauh dari jangkauan sinyal operator telepon seluler, kesulitan mendapat internet, dan tertinggal dalam pembangunan. Berhenti di situ, mari mulai katakan dengan penuh keyakinan, “tidak seperti itu!”
Iya tidak seperti itu. Desa kami merupakan desa kota dan menjadi pusat kecamatan, ada pasar yang didatangi orang-orang dari penjuru desa lainnya, ada stasiun kereta, ada pertigaan penting jalur alternatif provinsi yang akan mengantarkan kamu ke Cirebon atau ke Sumedang, ada deretan pertokoan, ada kantor-kantor cabang bank, ada mesjid besar, ada lapangan sewaan untuk bermain futsal, bahkan ada toko ritel dan kafe yang hampir setiap malam diramaikan oleh band-band indie akustik. Karangasem ini jauh dari laut, dan di desanya sekitar 80 persen lahan digunakan untuk aktivitas selain pertanian, kebanyakan untuk perdagangan, pemukiman, kantor, pertokoan, pasar, dan bangunan lainnya. Penduduknya pun beragam, banyak pendatang yang mengadu nasib di desa ini. Ada orang Padang, Jawa, dan daerah lain di Jawa Barat, namun sebagian besar memang masih dihuni oleh penduduk asli. Mereka terbuka terhadap orang-orang baru dan tak terlalu kaku dalam bergaul, sehingga mudah untuk sebagian dari kami berinteraksi langsung dengan warga.
Kembali ke soal belanja di pasar. Kami menyusuri ruas pasar beriringan, berpapasan dengan ibu-ibu yang juga belanja pagi untuk kebutuhan mereka hari ini. Pada salah satu kios tempat kami membeli cabai, tomat, dan bumbu-bumbuan, saya akhirnya mendengarkan secara penuh aksen bahasa Jawa yang digunakan di Indramayu sini. Tentu saja mereka Jawa ngapak, mirip seperti cara bicara orang Cilacap dan Tegal. Sebelumnya saya hanya mendengarkan sepotong-sepotong karena kebanyakan penduduk berbicara dengan kami menggunakan bahasa Indonesia setengah campur Jawa, jadi aksen ngapaknya tak terlalu terdengar. Ketika di pasar, interaksi bebas antarpedagang penjual membuat saya mendengarkan gaya bahasa orang Indramayu sebenarnya.
Setelah puas berkeliling dan menemukan semua kebutuhan memasak, kami meninggalkan pasar dan membeli sarapan untuk semua anggota kelompok. Setelah itu kami beres-beres untuk berangkat ke balai desa pukul delapan. Masaknya nanti jam sepuluhan, setelah janji dengan pak kuwu dipenuhi. Kuwu merupakan istilah yang digunakan orang Karangasem untuk menyebut kepala desa, dan pagi itu kami memang berjanji untuk bertamu sekaligus berkenalan di balai desa. Saya pulang ke pondokan laki-laki dan beres-beres diri, sudah mulai siang juga, malu masih bersarung dan muka semrawut belum mandi di tempat para perempuan.
**
Suatu kebetulan ketika saya mendengar pengumuman bahwa pagi ini akan diadakan posyandu untuk balita di rumah pak kuwu. Artinya tepat di sebelah pondokan perempuan. Wah kami langsung mendapati diri seperti yang saya lihat dulu di foto-foto para mahasiswa yang ber-KKNM, ikut serta dengan masyarakat dalam pelayanan desa. Benar saja, Finaz, Amal, dan Zia sudah mengurusi penimbangan para balita saat saya sampai di pondokan perempuan. Mereka bertiga tak terlihat canggung, malahan raut wajahnya senang. Mereka bertiga merupakan trio fakultas kesehatan di kelompok kami, Finaz mahasiswi kedokteran asal Negeri Sembilan, Malaysia; Amal mahasiswi kedokteran gigi asal Bandung; dan Zia mahasiswi keperawatan asal Bekasi. Namun karena desakan Ren yang mengingatkan janji dengan pak kuwu, kami meninggalkan posyandu bersama tiga orang tersebut. Kecuali Zia, ia ikut pergi dengan digantikan Alek di sana.
Pak Kuwu mengajak kami semua masuk ke kantornya dan berkenalan. Ia dulunya aktif di berbagai organisasi desa ini, hingga akhirnya menjadi pejabat tertinggi di Karangasem. Saat ini di periode kedua, saya juga merasakan meski baru pertama kali datang, desa ini teratur. Karangasem pun ternyata bukan pertama kali menjadi tempat kuliah kerja nyata mahasiswa, setidaknya kami merupakan kelompok ketiga yang melakukan kegiatan Tri Darma Perguruan Tinggi ketiga, pengabdian tersebut. Pertama yaitu kelompok dari Unpad juga Januari lalu, kedua kelompok dari IPDN pertengahan semesternya, dan kini kelompok kami. Menurut pak kuwu ada perubahan besar yang terjadi di desa sejak kedatangan mahasiswa, yaitu pengelolaan sampah yang lebih baik dengan ide dari kelompok mahasiswa Unpad sebelumnya, dan atribut kelengkapan balai desa yang lebih teratur oleh idenya kelompok mahasiswa IPDN. Beliau pun berharap kami juga menyumbangkan ide progresif untuk pembangunan desa ini. Saya dan yang lain mengamininya.
Setelah kunjungan kami kembali ke pondokan, terutama saya dan tim piket hari ini yang harus segera mulai memasak makan siang. Posyandu telah selesai dan tiga orang yang lain bergabung dengan kami. Ren mengidekan untuk sebagian orang yang bertugas di bidang pendidikan mencari data pendidikan desa ke balai pendidikan dan sekolah di dekat balai desa, sementara yang lainnya menunggu masakan selesai.
Tim piket kami memang didominasi orang sumatera, seperti saya yang dari Bukittinggi, Rosita dari Siak, dan Yulia dari Medan, namun kami lebih senang Iyan yang memimpin agenda dapur dan masakan. Jadi lah kami yang mengolah bahan dengan arahannya. Iyan ini merupakan selebritis yang berasal dari Cilacap dan punya restoran di Jogja sana, kemampuannya tak perlu kami ragukan. Dan tentu saja, ikan goreng, sambal, dan sayur asem yang jadi makan siang kami rasanya enak.
**
Alek, Dhani, Ita, dan saya duduk di kursi tungu balai desa ketika sore menjelang. Rosita saya tulis sebagai Ita. Kami yang bertugas untuk memetakan persoalan kepemudaan dan agama telah mengagendakan janji dengan pak lurah untuk bertemu ketua karang taruna, pak Muin. Pak lurah merupakan wakil pak kuwu, merupakan cara penyebutan unik di Karangasem. Jika di desa-desa lainnya kita mengenal lurah sebagai kepala desa, di sini berbeda. Ia datang dengan motor GL Pro keluaran tahun 80-an yang dulu menjadi motor dinas pegawai, kemudian membawa kami ke rumah pak Muin yang tak terlalu jauh dari balai desa. Tampak gelaran hajatan di dekat rumahnya, ada yang menikah hari ini. Pak Muin ini kebetulan pemilik usaha organ tunggal di desa, ia datang dari arah rumah yang sedang hajatan untuk menyambut kami dan mempersilakan untuk masuk ke rumahnya. Di ruang tamu kami berbicara tentang pemuda dan kegiatan-kegiatan di Karangasem.
Sebagai desa sentral di kecamatan Terisi, Karangasem di siang hari penuh dengan para pendatang. Baik pedagang di pasar dan toko, pegawai kantoran, serta para pembeli. Ada juga yang sekedar bermain atau melihat-lihat. Pak Muin bercerita bahwa dirinya sering was was dengan dampak negatif yang dibawa orang luar untuk pemuda di desa ini. Lagipula saat ini pun karakteristik penduduk Karangasem memang lebih mendekati karakteristik masyarakat urban dibandingkan masyarakat agraris, jadi mereka banyak terpapar pembaharuan-pembaharuan dari luar. Hal tersebut tersirat dari perkataannya bahwa lahan usaha untuk pemuda terbatas dan desa belum bisa maksimal dalam mengupayakannya. Karangasem yang terbagi dalam empat blok hanya memiliki satu blok yang pendapatan utamanya dari bertani, selebihnya banyak yang berdagang dan bekerja di berbagai tempat selain pertanian. Jarak pondokan kami dengan rumah pak Muin sekitar enam ratus meter, dan memang tak ada satupun lahan pertanian sepanjang jalan tersebut. Hanya ada satu peternakan ayam potong kecil di dekat pintu perlintasan kereta.
Menurut pak Muin, pemuda di Karangasem belum terlalu aktif dalam kegiatan desa. Seperti karang taruna yang diisi oleh orang-orang tua, bahkan sampai ide pun berasal dari yang tua. Positifnya, orang sini cukup peduli dalam pendidikan anaknya, sehingga banyak yang sekolah sampai lulus sma.
Ngomong-ngomong soal anak, desa ini sungguh dipenuhi oleh anak kecil. “Entah mungkin program KB kita.” Ucap pak Muin sambil berseloroh tertawa. Namun saya melihat potensi besar di sana. Jika pendidikan anak-anak tersebut diolah dengan serius, saya rasa nantinya desa ini akan punya sumber daya manusia berharga yang jumlahnya tak sedikit. Anak-anak itu menyenangkan, mereka tak takut dengan orang-orang asing seperti kami, dan begitu saja berbaur jika kami ajak bercanda. Beberapa kali di jalan bahkan saya mengajak mereka berfoto bersama. Ya, desa ini akan maju dengan hal tersebut, semoga..
Kami kembali ke pondokan setelah satu jam lebih berbincang hangat di ruang tamu pak Muin, matahari mungkin sudah terbenam di balik awan mendung yang sudah menggantung sejak pagi. Malam nanti akan ada pagelaran wayang orang di tempat hajatan, kami berencana datang.
Di Pasar Ita berhenti di depan satu tempat makan dan melihat ke saya,
“Ngebakso yuk..”
8��0݈���
0 notes
Text
KKNM - Isi Pikiran
Berangkat!
---
Pagi tadi smartphone saya berdering berkali-kali karena alarm yang saya pasang dengan selang setiap sepuluh menit. Sejak pukul dua hingga tiga, saya bangun dan mematikan deringnya. Perbuatan tersebut tak patut ditiru jika kamu memang harus bangun pagi-pagi sekali. Saya memutuskan tetap kembali tidur saat alarm terakhir saya matikan, pukul tiga tepat. Di jadwal, saya bangun pukul dua untuk packing perlengkapan, kemudian mandi dan langsung menuju kampus untuk upacara pelepasan KKNM selepas shubuh. Rencananya begitu, namun saya baru tidur pukul sebelas karena ketagihan membaca satu buku bagus karya Paulo Coelho. Smartphone itu saya himpit dengan bantal, saya mau tidur, masa bodoh KKNM. Bisa menyusul kalau telat kok, katanya.
Tak sampai semenit ia kembali berdering. Saya kesal dan berniat mencabut baterainya!
Loh nada deringnya beda? Otak saya mulai waras dan sadar kalau itu panggilan telepon. Mungkin dari ibu yang berniat membangunkanku. Atau Puti? Oh bukan, tentu bukan Puti. Sebesar apa pedulinya padaku untuk bangun pagi? Kita baru bertemu kemarin sore, dan interaksi pun masih sedikit, bahkan lewat chat. Toh dia bisa jadi tetap tak tahu saya berangkat hari ini, meski sudah saya beritahu beberapa kali.
Namun saya memang berharap itu Puti sehingga saya kecewa melihat nomor yang menelepon adalah nomor yang tak saya simpan, beda operator dengan nomor-nomor Puti. Siapa? Tak mungkin ibu..
Ah tak penting, saya mau tidur. Telepon itu saya reject. Kurang dari lima detik ia berdering lagi, dan nomor yang sama menelepon kembali. Saya angkat,
“Uda, bangun yak. Ini Noni.”
Oalah Noni memang janji membangunkan saya pada malam sebelumnya. Saya berusaha bersuara tak seperti orang setengah sadar agar tak malu masih belum bangun,
“Iya non, aku udah bangun kok.”
Dan saya ketahuan masih berbaring dengan mata setengah terpejam.
“Langsung bangkit dan jangan tidur lagi ya. Ayo bangun, kan berangkat hari ini.” Ucapnya dengan lembut di ujung sana. Noni memang saya kenal lembut, sebatas yang saya kenal ya begitu. Oke, kelembutan itu membuat saya duduk dan memberitahunya saya sudah benar-benar bangun.
Segera saja saya mengucapkan terima kasih dan menyelamati keberangkatannya nanti. Noni membalas hal yang sama, menyemangati saya. Dan telepon dimatikan.
Saya (harus) siap berangkat!
***
Upacara terlambat dimulai karena rektor baru berangkat dari Bandung pukul tujuh pagi, sementara kami sudah menunggu dari pukul enam di Jatinangor. Ya tak apa sih kalau dari awal tak perlu mewanti-wanti harus datang tepat waktu pukul lima tiga puluh. Namun semuanya lancar. Noni terlihat di sana sebagai perwakilan mahasiswi KKNM dalam penyematan topi. Terima kasih non sudah membangunkanku.
Satu hal, dan hanya satu yang paling berkesan dalam pemberangkatan ini. Sekian orang teman dan senior saya datang membawakan bingkisan sebagai kenang-kenangan. Mereka memeluk saya, mendoakan, mengajak berfoto, dan tertawa bersama. Saya kira tak akan ada satupun yang datang menghampiri pelepasan saya di KKNM saat ini, karena belakangan saya sering menghilang dari kampus. Kejenuhan terhadap pola pikir yang berkembang di lingkungan kecil ini membuat saya berkelana kemana-mana dan memutus banyak komunikasi dari sebagian besar orang yang saya kenal. Meski kadang masih sering berbalas chat, namun saya tak terlalu mempedulikannya. Dan mereka tetap melepas saya dengan dadah-dadah manis ketika bis kami melaju ke arah Sumedang kota, menuju desa tujuan, Karangasem, di Indramayu. Saya menyayangi mereka, namun mungkin memang waktunya saya segera pergi dari kampus ini dan melihat banyak hal di luar sana.
Perjalanan kami bisa dibilang cukup lama dari waktu tempuh normal Jatinangor-Indramayu. Sesekali saya ikut asyik mengobrol dan tertawa dengan teman sedesa, Iyan di samping kanan, Zia dan Nafa di kursi depan, dan Ina yang duduk di seberang Nafa. Juga dengan tetangga desa sebelah, Luthe, akhwat yang (sempat) menjadi impian.
Ah, soal Luthe. Ia duduk tepat di belakangku. Rasanya baru kemarin saya memimpikannya dan kini semuanya berbeda. Saya hanya ingin becanda ringan dan bukan untuk menarik perhatiannya. Dulu begitu kuat keinginan untuk membuat komitmen, sayang ia selalu berusaha menghindar. Ketika saya bilang ingin main ke rumahnya, ia bertanya kenapa, ada apa, kok harus, dan segalanya. Saya ingin menjawab biar lebih dekat, ia menghindar dan tak pernah mencoba menanggapi hal tersebut. Mungkin memang ia tak tertarik kepada saya. Jadi wajar kan saya harus menghentikannya. Hal yang membuatnya terlihat agak tak mengenakkan adalah, sebenarnya saya pernah mendiskusikan soal keinginan berkomitmen itu di lingkaran kecil liqo saya kala itu. Namun yasudahlah, semua sudah berlalu juga. Kini ia tetap tak mau menunjukkan sikap jelas ketika saya goda dengan pertanyaan,
“Luth, mumpung aku nakal saat ini. Kalau aku ngajak kamu jalan, mau ga?”
Kemudian saya ya ribet harus membalas pertanyaannya, jalan kemana, buat apa, kenapa harus jalan, dan segala macam pertanyaan yang ia lontarkan sebelum menjawab apa yang saya tanyakan.
“Kamu jawab dulu, mau ga?” Saya desak.
“Satu syarat, kita ga hanya berdua. Mesti ada orang ketiga.”
Dan itu absurd. Ia tak memercayai saya. Yah, meski sejujurnya Ia sedang menjalankan prinsip agama untuk ‘menjaga’, namun tetap absurd. Tak mungkin orang ketiga ini akan membantuk kami menepok nyamuk ketika kami berbicara berbagai macam hal. Lagipula Luthe bukan tipe orang yang memulai pembicaraan, sehingga kalau bukan saya yang memulai kami tentu akan diam sepanjang perjalanan. Pun setelah berbicara sedikit ia tak pernah mau mengungkapkan isi pikirannya, pendapatnya, pandangannya, dan pemahamannya. Ia memilih diam. Membayangkan kami diam, dan ada orang ketiga, sudah pasti saya yang akan tersisihkan. Karena tentu orang ketiganya harus kenalan dekat Luthe, Ia selalu punya bahan dengan kenalan dekatnya. Dan saya tak pernah jadi kenalan dekatnya.
Meski pembicaraan itu terjadi ketika pertemuan sebulan sebelumnya, di bis kira-kira ia melakukan hal yang sama. Begitulah, saya tak mau memperpanjang waktu yang terbuang untuk memikirkan hal tersebut.
***
Kami akhirnya sampai di Desa Karangasem, yang ternyata berwajah kota, ketika matahari sudah mulai berwarna kejinggaan. Sudah sore. Sebelumnya kami di pendopo kantor bupati Indramayu, disambut wakil bupati, dan melanjutkan perjalanan hingga rasa kantuk tak lagi terelakkan. Saya sering menguap dan Iyan malah bersemangat. Namun Iyan berhasil membuat saya melek dengan kisahnya, lain waktu saya ceritakan soal hal tersebut. Saya setidaknya turun bis dengan perasaan setengah kecewa karena Puti sepertinya menolak untuk dichat, katanya sedang tak enak badan.
Ya sudah, toh ia berhak kok untuk tak diganggu.
Satu hal yang membuat saya agak kaget. Saya tersadar, ternyata saya benar-benar berangkat KKNM hari ini! Sampai juga di desa rasa kota ini. Oh terima kasih alarmku. Eh Noni..
0 notes