Text
Yang serem dari perkembangan zaman: Ketika semua hal bisa di-matematika-kan, termasuk urusan hati
Teknologi menerobos privacy, katanya. Tapi ternyata ga sampai di situ aja.
Pengolahan data kini mengantarkan kita pada keadaan “semua hal bisa di-matematika-kan”. Algoritma dan kawan-kawannya kini mampu mengantarkan kesimpulan yang kemudian dapat digunakan untuk kepentingan pihak tertentu. Hebatnya, algoritma kini ga cuma mampu mengolah data yang kita input tapi juga mengolah aktivitas yang kita lakukan untuk kemudian mencapai titik kesimpulan.
Misal: [Yang lagi bikin banyak orang heboh dan kemudian diperdebatkan, Top viewers story Instagram] Orang heboh ngasih asumsi tentang kenapa dan bagaimana mereka-mereka bisa jadi top viewers story Instagram. Ada yang bilang karena kita yang sering visit profilenya Ada yang bilang karena kita sering interaksi baik DM, likes, comment, etc. ada yang geer, katanya karena mereka yang ada di top viewers sering visit profile kita -_-
Instagram pun udah ngeluarin rilis soal ini sebenernya, tapi tetep bias dan orang tetep senang berasumsi lebih.
Yang jadi fokus di sini adalah bagaimana segala aktivitas kita di era ini, mampu di matematika-kan, mampu dihitung, kemudian disimpulkan, termasuk urusan hati. Karena ga bohong, pasti pacar atau gebetan pernah sesekali ada di top viewers masing-masing kita. Atau setidaknya top viewers pasti diisi sama our beloved ones (bisa temen, sahabat, intinya orang terdekat kita). Jadi? Instagram tau perkara perasaan, perkembangan zaman berhasil melakukan intervensi terhadap hal yang dulu dianggap abstrak dan rahasia, kini terbaca dengan matematika.
Instagram tau, mereka tau, begitu pun teknologi lain kedepannya.
Ternyata matematika ga berhenti di 1 + 1 = 2
-aps
8 notes
·
View notes
Text
Dikejar Hutang
“Hutang itu wajib dibayar.”
Kau masih ingat kata-kata itu. Dulu, gurumu di sekolah dasar yang mengucapkannya di depan kelas. Orangtuamu juga mengatakan hal yang sama, jangan sampai menahan hutang jika kau sudah mampu membayarnya, kata ibumu.
Kata-kata itu sungguh mengganggumu. Meski kau sudah berusaha menepis bisikan yang entah dari mana datangnya, ucapan guru dan ibumu masih saja terngiang di telinga, melekat di kepalamu. Sesekali malah kau sendiri yang mengatakannya di dalam hati. Kau merasa seperti buronan yang bersembunyi dari daftar lacak polisi. Padahal kau tak pernah sedikit pun berbuat kriminal. Hatimu saja yang tak tenang.
Sebenarnya kau malas memikirkan hal ini. Pasalnya, kau tak sedang membuat kesalahan. Lagipula tak ada yang salah dengan hutang jika kita mampu membayarnya, iya kan?
“Ya betul! Tapi bagaimana jika kau terus menumpuknya?”
Sialan!
Kau selalu menggerutu, padahal hatimu sendiri yang mengatakannya. Kau sering bertanya, kenapa kata-kata itu kerap muncul ketika aku sedang dililit hutang? Ketika aku tak sanggup membayarnya? Hmmm begini, kalau pun dikau sanggup membayarnya, hutang tak pernah kau lunasi. Bukankah seperti itu kenyataannya? Kita terkadang sering bertingkah pura-pura lupa, lebih baik beli ini-itu dulu lah, urusan bayar mah gampang. Terlebih jika hutangnya kepada sahabat sendiri. Nanti juga dia lupa sendiri, pasti, batinmu.
“Kesalahan,” kata dirimu yang lain.
“Kesalahan bagaimana?”
Bisakah Anda yang menjawabnya?
Hari memang masih pagi, tapi dalam keresahan yang kerap meliputimu akhir-akhir ini, tiba-tiba saja kau menemukan cara melunasi hutang tanpa harus membayarnya. Bagimu, metode ini adalah siasat yang tepat untuk membebaskan diri dari lilitan hutang. Kabur. Ya, Ka-Bur. Lari dari masalah. Mungkin dengan cara ini aku bisa bebas dari congor-congor debt collector, ujarmu.
“Dasar goblok! Cepat kemas barang-barangmu dari sini kalo mau kabur!” bentak dirimu yang lainnya lagi.
Kau pun segera mengemas seluruh pakaian ke dalam ransel. Tak lama setelah kau keluar dari kamar indekos, mengenakan sepatu, mengunci pintu, kau buang kunci itu ke arah sungai disamping kamarmu. Lalu kau menuruni tangga, matamu berloncatan kesana-kemari, takut gelagatmu dicurigai.
Kau masih dengan perasaan tak tenang ketika sampai di depan sebuah rumah. Di dalam rumah yang selalu tampak sepi itu seseorang tak sengaja melihatmu celingak-celinguk kebingungan. Dari tatapan matanya, ia melihatmu sama seperti saat pertama kali kau datang untuk menyewa kamar yang sudah satu tahun ini kau huni. Lantas seseorang di dalam rumah itu keluar, hendak bertanya mau kemana?
“Ke.. keluar sebentar, pak!” jawabmu.
Gelagatmu menimbulkan kecurigaan, “kok bawaanya seperti mau pindahan saja?” tanya bapak indekos seraya menaikan suaranya, “kamu mau kabur, ya?”
Kau pura-pura tak mendengar.
Di gang yang tak terlalu besar itu tiba-tiba sebuah suara kembali membisikimu, “lari, goblok!”
Kau melesat.
“Hei jangan kabur! Bayar dulu uang kost-nya, dasar setan!”
Bapak indekos mengejarmu. Kau lari tanpa arah, memasuki jalan kecil, melewati para pemuda yang tak jelas pekerjaannya di ujung gang, lalu berbelok melintasi kantor kelurahan, menerobos pertahanan tim sepak bola tingkat kecamatan di lapangan, kau masih berlari, menembus bau busuk pasar tradisional, menyeberangi sungai dangkal, kau menoleh ke belakang, bapak indekos masih mengejarmu tapi kini diikuti puluhan warga, beberapa di antaranya mengacung-ngacungkan senjata. “Tangkap! Tangkap! Bakar!!!”
Kau tiba di persimpangan jalan, melewati warung tegal, penjualnya hendak bertanya, kapan bayar kasbon? “Nanti kalo sudah ada uang, bu,” jawabmu sambil lalu.
Puluhan warga dan belasan anak-anak ikut mengejarmu.
Dalam larimu kau mendengar bisikan, “Hutang itu wajib dibayar.”
Sialan!
Matahari tengah bertengger di atas kepala.
Kau masih berlari, tiba di jalan raya, menerobos kemacetan, melintasi puluhan ojek online di pertigaan jalan, belasan pegawai kantor yang hendak mencari makan siang, dan ribuan demonstran di bundaran.
Di perempatan jalan kau berpapasan dengan seseorang. Sahabatmu sendiri! Kau melihatnya tapi pura-pura tak mengenalnya. Dia melirikmu tapi gengsi menyapamu. “Kok dia jadi enggak ada rasa terimakasih, yah?” batin temanmu.
Kau tiba di pusat kota. Semua orang mencari dan mengejarmu. Kau berlari melawan arah lalu lintas, menerobos lampu merah, satu mobil menubruk pembatas jalan dan terguling-guling menghancurkan dua rumah warga, satu sepeda motor tergelincir di atas aspal mengeluarkan percikan api. Kecelakaan serupa bertambah dua, tiga, lima, enam, tujuh, delapan, sembilan, sebelas, banyak.
Satu dua gedung terbakar. Percikan api menjalar. Asap mengepul ke udara. Para pegawai berhamburan. Orang-orang panik tak karuan. Mobil pemadam kebakar menerobos kerumunan. Kau masih berlari. Terdengar suara sirine meraung-raung. Derap sepatu lars. Letusan senjata. Bising senapan. Decit ban mobil ambulans. Ibu-ibu menjerit. Anak-anak menangis. Pedagang asongan muncul di tengah kerumunan.
Sejumlah pejalan kaki yang dari tadi berada di sana segera merekam kejadian. Mereka mengunggah hasil video di media sosial; WhatsApp, Line dan Instagram. Sepenggal kabar diterbangkan. Tersaji di depan layar gawai.
Seorang gadis yang berada jauh dari kota itu langsung menontonnya.
“Asih, lihat!” kata Imas sembari menunjukkan video kepada teman di sampingnya, “itu cowok kamu, kan?”
“Kok dia bisa di sana, sih?”
“Eh, emang kamu belum ketemu sama dia?”
“Belum.”
“Bukannya.. emmm maaf.”
“Iya. Terakhir dia janji bakalan nikahin aku,” kata Asih sedih.
“Lalu?” tanya Imas agak senang tapi dibuat sedih.
“Dia pergi tanpa pesan,” suara tangis pun pecah.
Sedang di seberang jalan, di mana kejadian tengah berlangsung, seseorang merekam peristiwa yang sama. Dalam keterangan video yang diunggahnya, ia menyebutkan bahwa kejadian tersebut adalah hasil kemarahan para demonstran yang tak terpenuhi karena gagal menuntut keadilan. Apa maksudnya? Apa ia memiliki suatu kepentingan bagi kelompok tertentu? Atau hanya diliputi rasa benci, iri dan dengki? Wallahualam..
Dan di dekat lokasi kejadian, seorang reporter cantik yang rambutnya terkibas-kibas angin mengabarkan;
“Selamat sore pemirsa, telah terjadi kecelakaan beruntun di sepanjang Jalan X, Ibu Kota. Sejumlah kendaraan saling bertabrakan, tujuh mobil terpelanting hingga tersangkut di atap kantor perpajakan dan rumah makan nasi Padang. Sedangkan empat motor masuk ke gorong-gorong dan dua terjun bebas ke sungai.
Dari data yang kami terima dari pihak kepolisian, seorang pria diduga kuat menjadi penyebab kecelakaan. Dari pengakuan saksi, pria bernama (sensor oleh pengarang) itu lari menerobos lalu lintas sehingga menyebabkan para pengendara kagok mengendari kendaraannya. Kabar terakhir yang kami terima, pria tersebut lari ke arah gedung kosong di belakang saya ini (saat melirik ke belakang angin meniup rambutnya dan menutupi seluruh wajahnya). Emmm, duh.. pihak kepolisian saat ini tengah melakukan pencarian pria bernama (sensor oleh pengarang) itu.
Banyak kendaraan baik roda dua dan roda empat yang terpaksa berbalik arah. Kondisi ini mengakibatkan aktivitas jalan lumpuh. Tim evakuasi mencatat, tiga belas orang mengalami luka-luka.
Sekian dari kami. Saya Caca dan kerabat kerja yang bertugas melaporkan. Kembali ke studio.”
Kau masih bersembunyi di gedung kosong yang menjadi tempat mangkal waria di malam hari. Sejumlah polisi menyelinap keluar masuk ruangan yang dindingnya penuh jamur dan lumut. Suara sepatu mendekat. Jantungmu berdebar. Darahmu berdesir. Kau menongolkan wajah di balik tembok. Letusan peluru di tembakkan ke arahmu. Tapi melenceng ke arah lain. Kau lari mendobrak pintu. Polisi segera mengejarmu.
“Hei, jangan kabur!”
Terdengar suara letusan peluru memecahkan kaca.
“Lebay banget, sih. Cuma urusan hutang doang aku mesti diburu seperti ini.”
Kini, semua orang mencarimu. Bahkan wajahmu sudah ada di televisi sebagai daftar pencarian polisi.
Kau lari entah kemana. Dalam larimu kau mendengar lagi sebuah bisikan, “Hutang itu wajib dibayar.”
Sialan!
Larimu begitu cepat. Melesat. Tak bisa dikejar. Sehingga orang-orang malas mengejar.
Kau masih saja berlari, mendaki gunung, menuruni bukit, mengarungi lembah, melintasi pematang sawah, seorang petani melambai dan menyapamu apakabar? “Baik, Pak,” balasmu cepat. Kau berhenti sejenak. Hayu atuh mampir dulu ke rumah, ajaknya.
“Terimakasih, Pak.”
“Bade kamana?”
“Lari dari hutang, Pak.”
“Lari dari hutang?”
“Iya, Pak.”
“Kumaha caritana?” katanya sembari melanjutkan pekerjaannya.
Tak ada jawaban.
Kau sudah lenyap dihadapannya. Jangan lupa mampir lagi ke sini, teriaknya dikejauhan. Tak hanya hutang materi saja yang kau hindari, kau juga merasa hutang budi kepada petani tadi, karena kebaikannya yang kerap menjamu-mu setiap kau datang ke desa itu.
Sore hari.
Kau lanjut berlari, menembus hutan rimba, menapaki jalan setapak, melewati para penyadap karet yang masih bekerja. Salah satu dari mereka bertanya mau pergi kemana?
Kau berhenti dan menunjuk wajahmu sendiri.
“Iya, kamu. Mau kemana? Mau kemping?”
“Mau kabur!”
Kau kembali melesat.
“Dasar orang aneh….” sahut mereka saling mengernyitkan dahi dan menggeleng-gelengkan kepala.
Sebuah bisikan terngiang lagi, “Hutang itu wajib dibayar.”
Sialan!
Kau masih berlari, mengikuti jalan setapak, menyingkap lebatnya semak-semak. Di ujung jalan kau tiba di sebuah pantai tak bernama dengan mega-mega berwarna jingga. Kau melewati seorang pria yang sedang berusaha menggeratkan pisaunya di langit terbuka. Kau berhenti lagi. Kau mengenal pria tadi.
“Sukab, untuk siapa senja itu?” tanyamu.
“Pacarku, Alina.”
Tak lama setelah ia berhasil mengambil dan memasukan sepotong senja ke dalam amplop yang dibawanya, kau pun pamit melambaikan tangan.
“Hati-hati di jalan, kawan,” teriaknya dikejauhan.
Kau tak merasa capek. Kau kembali berlari, khawatir bertemu seseorang yang kau kenali, khususnya yang kau hutangi. Ketika kau menoleh ke belakang, Sukab sudah lenyap ditelan orang-orang yang mengejarnya. Keadaan menjadi gempar, setelah sepotong senja di cakrawala hilang dicuri orang. Oalah Sukab.. Sukab, dasar penghayal, ujarmu.
Kau melesat. Menjauhkan diri dari dunia. Sekarang bukan orang-orang saja yang mengejarmu, tapi hutang itu sendiri yang mengintaimu. Sosok gaib yang tak kasat mata.
Lagi-lagi kau mendengar bisikan itu, tapi sekarang suaranya lumayan lebih panjang;
Seberapa banyak hutangmu kini? Hutang uang? Hutang janji? Hutang budi? Ha ha sampai-sampai kau rela berlari sepanjang hari. Yang tak lain, dan memang tak ada yang lain, demi menghindari sejumlah tagihan yang mesti kau lunasi. Padahal orang-orang sudah malas mengejarmu lagi. Kenapa kau begitu bersikeras pergi kesana-kemari mencari tempat yang paling sunyi? Memangnya kau takut tak bisa hidup meski berdiri dengan satu kaki? Jika tidak, bisakah kau melewati semua ini tanpa harus mati? Apakah kau tak menyadari bahwa selama kau masih hidup, kesalahan yang kau disadari akan terus membayangi dan menghantui. Dalam hati.
Sialan!
Kamu sering bertanya: Apakah kegembiraan hidup? Sebuah pesta? Sebotol bir? Sepotong musik jazz? Semangkok bakso? Sebait puisi? Sebatang rokok? Seorang istri? Ah ya, apakah kebahagian hidup? Selembar ijazah? Sebuah rumah? Sebuah mobil? Walkman? Ganja? Orgasme? Pacar? Kamu selalu bertanya bagaimana caranya menikmati hidup.1
Malam hari.
“Nothing left to do, but.. run, run run.. let’s run..”
Lagu “Not To Touch The Earth” diputar di sebuah kedai kopi. Kau masih terus berlari, masuk ke dalam kedai, seorang barista yang sedang fokus membuat latte art berbentuk hati itu memaki-maki, gambarnya patah terbagi dua sebab kau menyenggolnya. Maaf tak sengaja, katamu sambil lalu. Kau lanjut berlari, gelas dan piring pecah, meja dan kursi berterbangan, kopi yang baru saja dipesan konsumen tumpah. “Woi! Hati-hati, dong!”
Celaka! Suasana kedai mulai kacau. Kenyaman pengunjung terganggu. Kau panik. Kau berusaha mencari pintu keluar. Tapi tak bisa. Orang-orang sudah mengelilingimu. Mereka siap memangsamu. Mata mereka menyala. Kau seperti berada di ujung mulut harimau. Kau mundur perlahan-lahan ke sudut ruangan.
“Tenang-tenang, saya akan pergi..” katamu cemas.
“Yang bener aja dong, mas. Baju saya jadi basah, nih!”
Keadaan genting.
“Ada apa ini?” tanya satpam yang ujug-ujug muncul di tengah kerumunan.
“Dia bikin onar, Pak!”
“Tangkap aja.”
“Iya tangkap!”
“Ayo tangkap!”
“Tangkap!”
Jalan menuju pintu keluar sudah tertutup kerumunan. Kau baru menyesali perbuatanmu. Kau mengutuk dirimu sendiri. Tak ada harapan lagi untuk kabur-kaburan. Yang kau ambil hanya langkah mundur, mundur dan mundur.
Di sudut ruangan itu kau terjatuh setelah menubruk sebuah meja, di mana si pengarang sedang menyelesaikan ceritanya. Oalah.. maaf pembaca yang budiman, cerita ini harus terhenti, sebab laptop si pengarang pun ikut terjatuh. Belah. Layarnya pecah. Sialan, si pengarang naik pitam. Kini hutangmu bertambah. ha ha
2 notes
·
View notes
Text
Logika Keliru dalam RUU Permusikan
“logika keliru dalam menyusun regulasi: seolah-olah jika ada Undang-undang, maka wajib mengandung pelarangan dan sanksi” -Mas Anggara-
Rancangan Undang-Undang Permusikan (RUU Permusikan) yang sedang digagas oleh Komisi X DPR RI kembali menjadi topik perbincangan. Setelah dirancang pada 15 Agustus 2018 lalu, draf RUU Permusikan kerap menjadi perhatian terkait kandungannya yang turut melibatkan adanya pelarangan dan sanksi dalam kegiatan permusikan.
Pada Naskah Akademik RUU Permusikan, yang menjadi arah pengaturan RUU, menyebutkan bahwa musik sebagai salah satu elemen budaya, dianggap memiliki kontribusi yang cukup signifikan terhadap kemajuan peradaban suatu bangsa. Realitas lain juga mengantarkan urgensi adanya penyusunan RUU Permusikan, yaitu bahwa musik telah menjadi industri yang memiliki nilai ekonomi yang tinggi di satu sisi, sedang keberadaan musik tradisional di sisi lainnya menuntut adanya pengaturan yang memungkinkan agar industri musik tradisional turut berkembang dengan baik.
Persoalan lainnya juga tidak terlepas dengan dihadapkannya perkembangan teknologi yang turut berjalan mengiringi industri musik. Perkembangan teknologi yang tidak hanya berdampak positif, tetapi juga negatif contohnya pada fenomena digitalisasi musik, pembajakan, dan lain sebagainya, menyebabkan persoalan ini semakin genting untuk mendapat pengaturan hukum secara khusus.
RUU Permusikan ini sendiri, berangkat dari hasil kajian Peraturan Perundang-undangan yang berkaitan dengan permusikan. Beberapa peraturan perundang-undangan tersebut diantaranya UUD NRI 1945, UU No. 4 Tahun 1990 tentang Serah Terima Simpan Karya Cetak dan Karya Rekam, UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, UU No. 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian, UU No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan, UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, UU No. 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, PP No. 29 Tahun 2004 tentang Sarana Produksi Berteknologi Tinggi Untuk Cakram Optik, hingga Peraturan Kepala Badan Ekonomi Kreatif RI No. 8 Tahun 2017 tentang Rencana Strategis Badan Ekonomi Kreatif Tahun 2015-2019.
Draf RUU permusikan yang terdiri dari 9 Bab dengan 54 Pasal didalamnya, berusaha menjadi payung hukum terhadap perkembangan segala aktivitas pada dunia permusikan, dengan tidak mengabaikan upaya pengembangan musik tradisional. Sebagai Undang-Undang pertama yang mengatur secara khusus segala bentuk kegiatan pada industri musik, kesembilan bab dalam draf RUU Permusikan mengatur mulai dari ketentuan umum; kegiatan permusikan; pengembangan pelaku musik; perlindungan; sistem pendataan dan pengarsipan; partisipasi masyarakat; ketentuan pidana; ketentuan peralihan; dan ketentuan penutup.
Pada Bab I, draf RUU Permusikan mencoba menjabarkan terlebih dahulu mengenai objek-objek dan pihak-pihak yang turut diatur didalamnya. Mulai dari musik itu sendiri, kegiatan permusikan, proses kreasi, reproduksi, distribusi, konsumsi, pelaku musik, musik tradisional, pemerintah pusat, pemerintah daerah, hingga menteri. Kemudian pada bab-bab selanjutnya, diatur aturan dari masing-masing objek dan pihak yang disebutkan pada ketentuan umum Bab I tersebut.
Setidaknya terdapat dua pembahasan yang menarik perhatian pada RUU Permusikan ini, yaitu pada Pasal 5 tentang hal-hal yang dilarang dalam proses kreasi dan Pasal 50 yang mengatur ketentuan pidana. Pada pasal 5 diatur bahwa dalam melakukan proses kreasi, setiap orang dilarang:
a. Mendorong khalayak umum melakukan kekerasan dan perjudian serta penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya;
b. Memuat konten pornografi, kekerasan seksual, dan eksploitasi anak;
c. Memprovokasi terjadinya pertentangan antarkelompok, antarsuku, antar ras, dan/atau antargolongan;
d. Menistakan, melecehkan, dan/atau menodai nilai agama;
e. Mendorong khalayak umum melakukan tindakan melawan hukum;
f. Membawa pengaruh negatif budaya asing; dan/atau
g. Merendahkan harkat dan martabat manusia
Kemudian pada Pasal 50 yang mengatur tentang Ketentuan Pidana mengatur bahwa setiap orang yang dengan sengaja melakukan hal-hal yang disebutkan pada Pasal 5 dipidana dengan pidana penjara atau denda.
Ketentuan larangan ini sebenarnya sudah diatur di berbagai peraturan lain, misalnya saja KUHP. Tapi huruf f dan huruf g itu tidak menaati kaidah hukum pidana yaitu kaidah lex certa dan lex stricta. Keduanya adalah kaidah yang menggambarkan bahwa ketentuan pidana itu harus pasti dan tidak bisa ditafsirkan lain dari yang dimaksudkan
Harapan bahwa adanya payung hukum yang mengatur secara khusus aktivitas bermusik, menggiring berbagai reaksi masyarakat menyambut draf RUU Permusikan ini. Upaya perlindungan dengan tidak memberi ruang kriminalisasi dalam kegiatan bermusik menjadi cita-cita utama yang diharapkan masyarakat khususnya oleh para pelaku musik.
*sebelumnya telah dipublish di web icjr
- aps
2 notes
·
View notes
Text
Sampurasun.
Halo teman Tumblr, kumaha damang?
2 notes
·
View notes
Text
Onthel Harga Mati!
“Baheula, Ayeuna, Baraya Salawasna..”
Sepeda Onthel. Pada awal popularitasnya di Indonesia, sepeda ini dimulai pada masa kolonial Belanda. Orang Belanda membawa sepeda buatan Eropa sebagai alat transportasi di masa pendudukan mereka di Tanah Air. Hampir semua orang mengakui bahwa sepeda onthel merupakan alat transportasi bergengsi, karena hanya para penguasa dan juga bangsawan yang menggunakannya. Seiring berjalannya waktu dan perkembangan teknologi transportasi, pada tahun 1960-an keberadaan sepeda sebagai kendaraan kelas atas perlahan tersisihkan oleh kehadiran motor dan mobil. Mungkin, saat ini sebagian orang berpendapat bahwa sepeda onthel itu identik dengan kesan sepeda tua, kuno atau usang dan tidak layak gunakan.
Pernyataan terakhir seolah ditangkis oleh salah satu komunitas di Kota Bandung yang memanfaatkan sepeda onthel untuk membangun kekeluargaan dan melakukan kegiatan. Pada tahun 2003, diawali oleh beberapa orang yang mempunyai kesamaan hobi menggunakan sepeda onthel yang gemar berkumpul lalu dilanjutkan dengan berkeliling kota. Maka pada 31 Januari 2015 dengan diprakasai oleh kurang lebih tiga puluh orang terbentuklah wadah komunitas penggemar sepeda onthel yang diberi nama PSBB atau Paguyuban Sapedah Baheula Bandung.
“Kami terbentuk karena rasa cinta solidaritas, kebersamaan, rasa memiliki, kepedulian tanpa membedakan klarifikasi strata sosial yang dilandasi dengan semangat kekeluargaan,” ujar Romli Wahab selaku ketua residen PSBB periode 2018-2020.
Kegiatan utama komunitas PSBB ini memang bersepeda dengan menggunakan onthel. Romli menuturkan, seiring berjalannya waktu serta bertambahnya anggota, selain berkumpul mereka mempunyai program kerja jangka pendek dan panjang yang jelas dan menghasilkan uang.
“Untuk jangka pendeknya kami merencanakan her registrasi bagi anggota lama dan penerimaan anggota baru. Sedang jangka panjangnya kami akan menggelar perencanaan event besar pemberdayaan divisi di bidang usaha yang menarik agar bisa dijual kepada masyarakat luas, contohnya goes keliling bangunan atau tempat bersejarah dengan paket yang bisa kita tawarkan ke hotel. Sebagian program tadi sudah berjalan cuma baru di kemas lagi agar lebih bersinergi,” tuturnya.
Adapun kegiatan rutin PSBB setiap minggu pagi yang diawali dengan berkumpul di Taman Vanda atau Gedung Merdeka sebelum dilanjutkan untuk berkeliling kota sesuai agenda. Romli menambahkan, disamping kegiatan tersebut PSBB juga kerap mengikuti beragam event sampai kegiatan bakti sosial.
“Nah, kalau untuk event di kota Bandung PSBB selalu dilibatkan karena sudah terjalin sejak lama dengan berbagai instansi baik pemerintah atau swasta. Kami juga sudah menjalin kerjasama dengan KDD (Komunitas Donor Darah), di mana setiap dua bulan sekali anggota kita donor darah ke PMI,” tambahnya.
Menariknya, sembari berkeliling kota dengan sepeda onthel, mayoritas anggota PSBB nampak terlihat nyentrik dengan busana atau kostum yang digunakannya. Tak hanya itu, pakaian tradisional pun menjadi pilihan utama yang wajib dikenakan saat agenda tertentu.
“Di PSBB sendiri memberikan kebebasan berekspresi sesuai dengan keinginan dan kesukaan semua anggota, karena kebebasan beragam kostum ini akan memberi warna yang berbeda di antara komunitas lain. Tapi, untuk minggu pertama diwajibkan memakai batik, selain tetap menjaga dan melestarikan pakaian tradisional ini di kalangan generasi yang mulai tumbuh yaitu anak-anak kita” paparnya.
Komunitas yang memiliki anggota sekitar 1036 ini tak pandang usia, dimulai dari usia paling muda 10 sampai 80 tahun pun masih ikut serta. Saat ini, PSBB berencana untuk menyusun ke panitian menghadapi event besar. Ketua residen PSBB ini berharap, komunitas yang sudah berjalan 13 tahun ini bisa lebih solid dan maju.
“Rencana terbesar PSBB yaitu menghadapi event besar seperti Bandung lautan Onthel yang akan di laksanakan 2019. Event ini merupakan agenda 3 tahun sekali yang dinanti-nantikan semua onthelis seluruh Indonesia juga Internasional. Harapannya, semoga PSBB bisa dijadikan kebanggaan para anggotanya yang terus berkontribusi melalui kegiatan-kegiatan yang bersifat pendidikan dan sosial bagi masyarakat Kota Bandung,” pungkasnya.
Foto: Dok: Paguyuban Sapedah Baheula Bandung.
2 notes
·
View notes
Text
Amankah Diriku, Disana?
Pintu diketuk.
"Maaf, demi menjalankan perintah atasan, saudara kami amankan!"
Apakah saya akan benar-benar aman?
4 notes
·
View notes
Text
Menyingkap Tabu
"Hus! jangan bilang kontol."
"Kenapa, Pak?"
"Tidak boleh! yang benar adalah kemaluan."
"Wah, kok begitu, Pak? Kemaluan kan urusannya dengan malu. Toh, kata itu dimuat dan resmi di dalam KBBI, artinya telah disepakati Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. Jangan salahkan saya dong, Pak."
"Ya pokoknya tidak boleh, tidak enak. Sudah ganti dengan kemaluan saja!" Katanya ngutruk.
"Loh kok tidak enak, Pak?"
"Memalukan!"
"Nah ini, Pak. Justru yang tidak punya kontol yang harusnya malu.."
"-_-"
0 notes
Text
....
"Aku sayang kamu."
Lelaki dihadapannya hanya menunjuk dirinya sendiri.
"Iya, aku sayang kamu!"
"Kamu? Sayang? Aku?" balasnya heran.
"Maaf, aku baru jujur soal ini," kata teman lelakinya itu.
Dunia beku. Kikuk.
0 notes
Text
Pernyataan Cinta dengan Sebait Puisi
"Aku ingin mencintaimu dengan sederhana."
Wanita dihadapannya menarik nafas lalu menghebuskannya dalam-dalam.
"Jadi?" katanya cemas.
"sayangnya kamu bukan Sapardi.."
2 notes
·
View notes
Text
"Untuk menghindari kekecewaan dalam berkesenian, seseorang janganlah menjadikan kesenian sebagai karir. Terlepas dari naluri artistik dan bakat besar yang dimiliki seseorang, ia seharusnya mencari uang dan kekuasaan di tempat lain agar tidak mengorbankan karya seninya apabila ia tidak mendapat imbalan yang setimpal untuk bakat dan kerja kerasnya." - Enishte.
(Pamuk, Serambi, 2006: 54)
5 notes
·
View notes
Text
"Ada sebuah ungkapan dalam dunia pengadilan yang berbunyi: Kalau ingin mengetahui siapa pelakunya, temukan dahulu siapa yang beruntung dari kejahatan itu." - Padri Faria.
(Dumas, Pustaka Jaya: 1992: 88)
7 notes
·
View notes
Text
BALADA PENEMBAK MISTERIUS DAN KERONCONG TENGGARA
Keroncong. Tiba-tiba ingatan saya meluncur jatuh pada buku kumpulan cerita pendek Penembak Misterius (Galang Press, 1993) yang memuat salah satu cerpen berjudul “Keroncong Pembunuhan” karya Seno Gumira Ajidarma. Di dalam cerpen tersebut diceritakan bahwa si tokoh utama ditugaskan untuk membunuh seseorang di sebuah pesta yang meriah. Saat memulai aksinya, sebuah lagu keroncong yang sedang mengalun malah membuatnya ngantuk. Di teras lantai 7 hotel, ia masih berusaha keras menemukan sasaran korbannya dalam kerumunan di tengah orkes keroncong yang sedang melagu. Ia mengamati kerumunan itu di garis silang teleskop pada senapannya. Ia melihat tak ada yang sungguh-sungguh mendengarkan lagu keroncong itu, bahkan dari mereka sibuk bercakap sendiri, riuh dan tawa yang pecah dari setiap kerumunan. Lagu “Sepasang Bola Mata” yang masih terdengar mengalun di telinga malah membuatnya semakin kesal.
“Belum habis juga lagu keroncong itu. Rasanya lama sekali. Seperti juga orang-orang di bawah sana, aku tak perlu mendengarkannya dengan sungguh-sungguh. Musik keroncong sekarang ini seperti benda museum, para senimannya kurang jenius untuk membuatnya lebih berkembang,” gumamnya sinis.
Waduh! Museum? Anda bisa bayangkan, museum? Ucapan getir diatas meluncur dari mulut yang tak lain mengaku dirinya adalah seorang petrus! Warbyaza. Saya kira, si pengarang secara tidak langsung berhasil mengemukakan pendapatnya melalui tokoh utama. Ia rasa musik yang berasal dari Portugis itu nampak seperti benda artefak. Kuno–seperti benda yang merelakan dirinya diarsipkan atau dipajang bertahun-tahun di etalase museum tanpa secuil keterangan apapun yang lambat laun bakalan lapuk juga. Barangkali keroncong menarik bila di analogikan sebagai manusia, mungkin ia juga ingin hidup seribu tahun lagi seperti Chairil, asalkan para senimannya mau menghidupkan dan mengembangkannya. Namun, bila ia benda kuno? bagus-bagus berguna bagi kebutuhan pendidikan atau sebagai bahan studi kalangan akademis untuk mencari bukti dan jejak sejarah. Kalau tidak ada? Ya sudah. Artinya, tak sedikit orang–khususnya kalangan muda–kadung mencap musik yang dikenal sejak abad ke-19 di Nusantara ini sudah menua ditelinga. Apa mungkin sekarang ini hanya kalangan tua saja yang ‘ngena’ menikmatinya? barangkali bagi mereka musik keroncong masih relevan dan sah bila dianggap sebagai mesin pencair kenangan akan masa lalu.
Nah! disini saya sebenarnya sempat memiliki perasaan yang sama dengan si tokoh utama dalam cerpen, ciee gitu. Sssst.. selanjutnya pelan-pelan jika kau mau sebut namanya, oke? Begini, begini, walaupun tak sering mendengarkan keroncong, rasanya saya cukup menyukainya. Beberapa kali saya pernah menemukan tempat yang menyuguhkan musik keroncong sebagai hiburannya, seperti; event musik, café, acara pernikahan sampai di jalanan. Semoga perkiraan saya ini salah, pada umumnya banyak kelompok/orkes keroncong membawakan repertoar keroncong ternama, seperti; “Di Bawah Sinar Bulan Purnama”, “Selendang Sutera”, “Rayuan Pulau Kelapa”, “Bengawan Solo”, “Sepasang Mata Bola”, “Keroncong Kemayoran”, “Keroncong Pasar Gambir” atau lagu-lagu populer lainnya dengan aransemen keroncong, beberapa diantaranya saya nikmati – enak, lembut, mengalun – namun saya kira sedikit pula yang mampu mengembangkan musik tradisional yang satu ini .
Menurut komponis yang mengaku agamanya adalah musik, Alm. Slamet Abdul Syukur, keroncong masih hidup tapi tidak disukai oleh industri musik. Dia menuturkan, popularitas keroncong menurun karena kurangnya promosi. Para musisi bisa bekerja bersama memajukan keroncong. Dengan pengetahuan yang kuat tentang latar belakang, para musisi bisa menghasilkan karya yang punya kekuatan untuk mengembangkan musik itu.
Ah shit! Rupanya si penembak sadar kehadiran saya disini. Ia diam-diam mengarahkan moncong senjatanya ke arah saya, sedang tulisan ini belum selesai. Sssst..
Sebentar. Lupakan sejenak si penembak misterius. Semua orang tahu, sekarang kita tidak sedang berada di tahun 80’an seperti pertama kali cerpen itu di tulis. Hari terlewat. Bulan berlalu. Tahun berganti. Kondisi sosial berubah. Dunia semakin tua. Dia datang dan pergi. Aku sendiri lagi.. (halah apaan sih). Nah, disini! Kejenuhan mendengarkan keroncong perlahan luntur di telinga ini, ketika salah satu kelompok musik muncul ke permukaan ranah musik Tanah Air dan berupaya meramunya dengan ragam genre musik lain. Adalah Ubiet dan Keroncong Tenggara yang berhasil membuat saya berdecak kagum sekaligus bertanya-tanya, kenapa sajak karya Chairil Anwar berjudul “Senja di Pelabuhan Kecil” (1946) ketika diaksenkan dalam bentuk keroncong membuatnya lebih bernyawa–lirih dan kelam? Amboi! Belakangan ini sering kali saya memutar ulang lagu itu. Hmm kenapa, ya? Ah! Hatiku yang tak mau memberi, mampus kau dikoyak-koyak hepi, eh sepi.
Nama Keroncong Tenggara diluncurkan tahun 2007 bersamaan dengan album perdananya dengan nama yang sama. Perkenalan saya dengan Ubiet dan Keroncong Tenggara terjalin (yaelah terjalin~) tahun 2013, artinya saya terlambat enam tahun mengenal kelompok musik yang digagas oleh Nya’ Ina Raseuki atau lebih dikenal Ubiet bersama dua sahabatnya, Dian HP dan pendiri grup jazz SimakDialog Alm. Riza Arshad. Dan saya sendiri baru memiliki CD album tersebut awal tahun 2018 yang sekarang tepat berada di paha yang mulus ini hehehe. Menariknya, seluruh personil kelompok ini datang dari berbagai genre, mulai dari jazz, klasik, melayu, pop hingga tanggo yang kemudian bermuara pada musik populer hibrid, yakni keroncong!
Keroncong Tenggara terdiri dari Ubiet (Vokal), Dian HP (Akordeon–kiri, Keyboard), Riza Arshad (Akordeon–kanan), Dony Koeswinarno (Flute, Saxophone), Dimawan Krisnowo Adji (Cello), Hadi Mulyono (Mandolin–Cak), Maryono Aceng (Ukulele–Cuk), Adi Darmawan (Bas Elektrik) dan Jalu Pratidina (Kendang Sunda, Perkusi). Mereka memperkuat jiwa keroncong sebagai titik utama, namun tetap mempertahankan beberapa elemen keroncong seperti ritme cak-cuk yang dimainkan pada ukulele dan mandolin yang mengeksplorasi berbagai unsur musikal. Seluruh lagu berasa berbeda dengan keroncong pada umumya, masing-masing instrumen terdengar saling kerjar-mengejar membentuk harmoni yang indah.
Lupakan sejenak si penembak misterius. Sssst..
Album ini terdiri dari delapan lagu, lima diantaranya lagu keroncong lama yang kembali diaransir dengan variasi genre tanpa menghilangkan roh musik keroncong itu sendiri, diantaranya; “Keroncong Kemayoran”, “Gambang Semarang”, “Keroncong Pasar Gambir”, “Keroncong Sapu Lidi” dan “Aksi Kucing”. Lagu terakhir yang disebut adalah lagu gubahan Oie Yok Siang yang sempat di populerkan juga oleh grup White Shoes & Couples Company di album Skenario Masa Muda (2007). Tentunya lagu tersebut berbeda dengan aransir Ubiet dkk. yang berhasil membikin saya menggelitik tak karuan di atas kasur, ah! akord yang lazim pada musik jazz, masing-masing instrumen memainkan pola berbeda yang membangun sebuah harmoni–rumit tapi tidak njelimet tidak juga berebut tempat. Interlude diisi oleh saxophone yang menggigit bagai kucing yang sedang diganggu, dan lagi lagi ah!, Mbak Ubiet menutup lagu ini dengan suara yang tinggi nan manja “meooooongngngngng!”. Kzl.
Lagu lain yang saya sukai di album ini juga nampak pada lagu “Gambang Semarang” masih dengan pencipta yang sama. Intro lagu dibuka dengan bunyi keyboard ala gamelan dengan nuansa ceria, ditimpali sekelabat bunyi akordion dan fluet. Seperti keroncong pada umunya instrumen cello, bas, cak dan cuk menjadi pengiring utama lagu. Di tengah lagu seluruh instrumen serentak memainkan pola tutti yang cukup rumit sekitar 50 detik. Suara vokal yang meliak-liuk menambah keasyikan tersendiri di lagu ini, “Empat penari kian kemari jalan melenggang, aduh,”.
Selain itu, kelompok musik yang digagas oleh tiga musikus kenamaan Tanah Air ini tak hanya mengaransir lagu keroncong lama atau memadukan sajak karya penyair yang dijuluki ‘Si Binatang Jalang’ saja, puisi penyair Nirwan Dewanto “Keroncong Tenggara” (2006) dan Sitok Srengenge “Cinta Pertama” (2004) masuk bagian album yang diaransir dengan citarasa mutakhir. Lagu “Cinta Pertama” dibuka dengan permainan akordeon kiri dan kanan, disusul vokal dengan teknik vibrato, kemudian ditimpali masing-masing instrumen yang saling bersautan. Bagi saya, puisi “Cinta Pertama” yang dijodohkan dengan melodi lagu ini terdengar syahdu yang meninggalkan luka pilu. Uniknya, struktur melodi pada sang vokal; Ubiet tidak terpatok pada satu tonalitas. Ia begitu liar mengolah komposisi pada setiap lagu. Perluasan akord yang lazim pada musik jazz pun di terapkan tanpa ada gangguan yang cenderung berlebihan.
Ah! saya hanyut terbawa ragam nuansa di seluruh lagu pada album ini. Sebentar, apakah kau liat si penembak misterius itu? dimana, dia?
Oiya, lupakan sejenak si penembak misterius. Sssst.. sampai dimana kita?
“Bahwa Keroncong Tenggara itu adalah sebuah ide atau sebuah lintas jenis musik yang bisa dipersatukan dalam bunyi. Bagaimana bunyi itu bisa dipercakapkan. Keroncong Tenggara merupakan sebuah projek,” ujar wanita yang meraih gelar Doktor Etnomusikologi di University of Wisconsin, Madison, Amerika Serikat itu di kanal YouTube saat mengisi talk show “Indonesia Morning Show” di NET tv tahun 2015.
Penyanyi yang sempat bergabung dengan kelompok musik New Jakarta Ensemble di bawah pimpinan komponis Tony Prabowo itu mengatakan, seluruh personil berangkat dari berbagai latar musik yang berbeda, mereka ingin menyatukan sebuah bahasa yang disebut bahasa keroncong dan menjadi keroncong yang baru.
Di dalam buku “100 Tahun Musik Indonesia” pengamat musik tersohor di Tanah Air, Alm. Denny Sakrie, mengutarakan bahwa keroncong adalah musik milik Indonesia yang selalu akan kita bawa hingga ke masa depan karena kita tahu, keroncong bukan musik orang-orang lawas, melainkan tanpa batas waktu.
Nah! Musik keroncong nyatanya tak hanya disematkan bagi kalangan tua saja. Dengan pengembangannya seperti contoh yang dilakukan Mbak Ubiet dkk. musik keroncong menjadi daya tarik tersendiri; karena adanya unsur yang mampu menyihir generasi baru untuk mengapresiasinya lebih lanjut. Ubiet, Dian HP dan Alm. Riza Arshad beserta pemusik piawai Indonesia yang tergabung dalam kelompok Keroncong Tenggara bekerja untuk menggali kekayaan musik keroncong. Dituliskan dalam catatan pada cover CD bahwa mereka mengharapkan mampu mengundang generasi Indonesia mutakhir untuk mengembangkan dan menyebarkan musik ini ke khazanah dunia.
Bagi saya pribadi, delapan lagu yang terhimpun di album Ubiet dan Keroncong Tenggara seperti menyuguhkan pola makan yang benar; yang diajarakan dulu ibu bapak guru kita di sekolah dasar – empat sehat lima sempurna, porsi album yang mengenyangkan disaat perut ini keroncongan. Nyatanya, Ubiet dan Keroncong Tenggara memberikan nuansa atau aroma baru bagi perkembangan musik keroncong di Indonesia. Album dengan komposisi tradisional yang dikemas secara modern ini menawarkan suatu sensasi berbeda yang mengejawantahkannya bahwa musik keroncong itu elastis. Saya kira Ubiet dan Keroncong Tenggara berhasil meramu, menjodohkan dan mengembangkan dengan ragam varian musik lainnya demi keberlangsungan hidup musik keroncong itu sendiri. Intinya sih mereka cukup berhasil menangkis omongan si penembak misterius yang mengatakan “para senimannya kurang jenius untuk membuatnya lebih berkembang”.
Duaaarrrrrrr!!!!
Dan si penembak misterius pun salah menghempaskan peluru yang ditujukan ke arah saya hahaha
“Inilah keroncong fantasiii”
8 notes
·
View notes
Photo
KESENIAN TIONGKOK MASUK RANAH PERGURUAN TINGGI
Perayaan Tahun Baru Imlek tak pernah bisa dilepaskan dari keseniannya – Barongsai. Tarian tradisional yang berasal dari tanah Tiongkok itu diperkirakan masuk Indonesia pada abad ke-17. Kehadirannya pun kini telah melebur dengan bermacam kultur dipenjuru Tanah Air, bahkan merambat masuk ke ranah perguruan tinggi. Di Kota Bandung, kesenian barongsai menjadi salah satu bagian dari Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Universitas Widyatama bernama Bandung Santo Club (BSTC). UKM BSTC merupakan komunitas Dragon Lion Dance yang mayoritas anggotanya mahasiswa. Namun, tidak seluruhnya justru keturunan Tionghoa.
UKM Bandung Santo Club terbentuk pada tahun 1997. Awalnya UKM ini bergerak di bidang kegiatan Wushu. Seiring berjalannya waktu, BSTC pun memfokuskan pada kegiatan kesenian barongsai dan liong. Mereka kerap mengikuti beragam kerjuaraan seni tingkat kota, provinsi hingga nasional dan internasional.
Herdianto Tanzil selaku pelatih BSTC yang didampingi Yokehiro ketua dan pendiri, serta Fatimah Nurohmah Ketua Unit Mahasiswa BSTC Widyatama menuturkan, UKM ini melaksanakan kegiatannya di dalam dan di luar kampus. Tak jarang, mereka sering diundang dalam perayaan Imlek setiap tahunnya di berbagai kota.
“Kalau di kampus kami sering ngisi pembukaan seminar atau acara penting lainnya. Di luar itu, kami juga biasanya sering tampil terutama saat perayaan Cap Go Meh. Kami juga sempat di undang di Kota Sukabumi, Karawang, Cianjur dan Garut yang biasa jadi langganannya. Kami juga rutin tampil mengisi acara Kirap Budaya di Kota Bandung dan luar kota,” ujar Herdianto saat ditemui di sekretariat BSTC, Universitas Widyatama, Jalan Cikutra No. 204 A, Kota Bandung, Kamis (11/1) sore.
Selain itu, Herdianto mengatakan, BSTC rutin melaksanakan latihan dua kali dalam seminggu di hari Senin dan Rabu. Setiap anggota terbagi menjadi beberapa pemain, barongsai dimainkan dua orang – depan belakang sedangkan liong sembilan.
“Latihan sangatlah perlu, karena kerja sama tim sangat dibutuhkan. Laki-laki diprioritaskan memainkan barongsai dan liong sedangkan perempuan fokus ke musiknya memainkan alat tambur, simbal dan kenong. Tapi disini kami mengajarkan semuanya tidak terpaku pada satu bidang saja,” ungkapnya.
Nyatanya, berangkat dari semangat dan kerja keras, mereka berhasil mengukir sejarah dan prestasi di tingkat internasional dalam rangka undangan acara “Legend of Shaolin Memorial Cup 2016” di negara Hongkong. Perlombaan tersebut diikuti oleh 8 negara, diantaranya; China, Vietnam, Indonesia, Taiwan, Filiphina, United State, Malaysia dan tuan rumah Hongkong. Uniknya, mereka tampil dengan memadukan budaya pada kostum yang dikenakannya.
“Kami meraih dua piala kategori Best Participant dan Best Dress. Seperti biasa pemain barongsai memakai kostumnya, dan pemain musik memakai pakaian adat Suku Dayak. Kalo disini (Indonesia) kami sudah biasa memakai baju adat saat tampil, tapi disana khususnya warga Hongkong sangat mengapresiasi kostum yang kita kenakan. Kami sangat bangga dengan adat kebudayaan Indonesia,” kata pelatih berumur 27 itu.
Herdianto menambahkan, walau anggota aktif mayoritas mahasiswa kampus, tidak ada batasan untuk siapapun yang ingin bergabung – baik mahasiswa kampus lain atau masyarakat luas. BSTC menerapkan beberapa ketentuan berupa peraturan yang berlaku bagi seluruh anggotanya.
“Sebenarnya siapun boleh gabung, dengan catatan tidak terikat dengan tim atau komunitas lain. Kami juga disini belajar untuk disiplin, seperti tidak boleh buang sampah sembarangan. Dan juga seluruh anggota tidak boleh merokok ketika mengenakan seragam, di kampus, sebelum dan setelah tampil, di luar atau dimana saja. Kalo ketauan, sanksinya langsung dikeluarin,” tukasnya.
Kedepannya, UKM BSCT berharap terus mempererat tim dan mengembangkan bakat berkeseniannya. Di sisi lain, BSTC juga berencana untuk mengikuti ajang kejuaraan tingkat nasional dan internasional yang tak lepas dari dukungan penuh yang diberikan pihak kampus.
1 note
·
View note
Photo
Fragmen (3)
“Cukup jiarahi aku di waktu luangmu saja.” Kata lelaki itu kepada gadis yang jauh entah dimana. Sosok bayangan di benaknya pamit undur diri.
…………. sambungan telefon terputus.
4 notes
·
View notes
Photo
Senin sedang cerah, ijinkanlah, kurayu dirimu; lukai aku, belah dadaku, makan jantungku, renggut hatiku dalam suka atau duka, kaya atau papa, sampai kematian memisahkan; memisah jiwa raga kita.
Selasa, kau dan aku, jika waktu berpihak padaku, ijinkanlah, kumelukaimu. Ijinkanlah kupetakan tubuhmu, dalam suka atau duka, kaya atau papa sampai kematian memisahkan membelah jiwa raga kita.
Rabu, langit kelabu, tanpa ragu-ragu, perintahkan padaku, rebut segalanya untukmu dan seperti kau tahu: segalanya adalah seluruhnya.
Katakanlah jika aku Israel, kau Palestina; jika aku Amerika, kau seluruh dunia; jika aku miskin kau negara; jika aku mati kau kematian lainnya.
Kamis, Jumat, Sabtu, Minggu pepatkan seluruh semesta. Jika kau menginginkannya. Pepatkan seluruh sisi-sisinya.
- 7 Hari Menuju Semesta (Balada Joni dan Susi), Melancholic Bitch.
4 notes
·
View notes
Photo
“Di dapur, ibu berubah kupu-kupu. Di dapur, adik kecil lahir prematur. Adik kecil di makan anjing. Tetangga mengecat rumah dengan darah ungu, darah kupu-kupu. Di dapur, hutang berubah bisik- bisik. Tetangga berubah polisi. Berubah Imam. Berubah kota…. Darah kupu-kupu. Kota sudah dikepung tentara..” - Dapur Nkk/Bkk, Melancholic Bitch.
5 notes
·
View notes
Photo
TIGA SKS DARI BRE REDANA “JURNALISME DAN ROCK N’ ROLL”
“Yang agak memperpanjang jejak manusia hanyalah kenangan.” (Hal, 177).
Tepat di hari pensiunnya, Santosa Santiana memenuhi janji mengadakan acara makan-makan di kantor sekaligus perpisahan bersama seluruh rekan kerjanya; staf redaksi, wartawan, para pekerja artistik koran, perpustakaan, dokumentasi, riset dan pengembangan, administrasi dan lain-lain. Pengabdian SS (Santosa Santiana) sebagai wartawan selama 35 tahun di media cetak — koran, nyatanya tak menyurutkan idealismenya. Di kemudian hari para sahabatnya mengajak SS untuk berspekulasi membikin sebuah koran di tengah derasnya arus informasi media digital, bernama Koran Kami. Alasannya proses kerja membuat sebuah koran mampu mengembalikan mereka ke sebuah dunia yang pernah digeluti dengan nilai-nilainya dari zaman yang telah berlalu cukup lama.
Dan, saya baru melahap buku Koran Kami with Lucy in The Sky setelah dua bulan dari terbitnya novel ini, November 2017 lalu. Jujur, saya menikmati narasi Om Bre Redana (saya panggil Om aja, mudah-mudahan diangkat jadi keponakannya hehe). Dengan khidmat saya membaca, membayangkan, membuka halaman demi halaman mengikuti alur cerita sampai akhir.
Sebagaimana yang ceritakan, tokoh utama dalam novel ini adalah SS. Yang dikatakan sahabatnya ia memiliki sindrom Garcia Marquez, menyukai cewek-cewek cantik dan muda.
Selaku wartawan yang baru saja pensiun, SS juga merangkap sebagai novelis. Ia dipertemukan dengan Lucy, lantas mengajak wanita muda itu bergabung untuk koran yang akan dirintis bersama sahabatnya. Lucy in The Sky.. katanya memuji kecerdasan wanita muda yang namanya seperti sepotong lagu berjudul “Lucy in The Sky with Diamonds” di album Sgt. Paper’s Lonely Hearts Club Band, The Beatles.
Selain berproses mendirikan koran, SS pun berencana menulis sebuah buku mengenai riwayat sejarah koran di mana ia bekerja selama 35 tahun. Lucy ikut membantunya. Di sebuah bar mereka menghabiskan malam dengan bir di tangan. Keingintahuan Lucy kian membuncah ketika SS banyak membuka obrolan mengenai pengalamannya. Ia bercerita mengenai awalnya bergabung dengan industri koran pada pergantian 70-an menuju 80-an zaman flower generation: hippies yang mulai layu dan diganti dengan kelompok yang menyandarkan diri pada kebebasan dan cinta tetapi kerja keras cari duit, dikenal dengan sebutan: Yuppies —Young Urban Professionals. Ia juga berkisah mengenai dirinya yang berharap kembali ke tahun tujuhpuluhan di San Francisco untuk melihat cahaya bundar yang mengelilingi kepala Jerry Garcia pentolan dari kelompok Grateful Dead yang konon jadi tanda roh kota, tepatnya di Haight-Ashbury yg menjadi magnet bagi anak-anak muda seluruh dunia untuk mencari kedamaian. Dan tentunya ia juga bertutur mengenai sejarah perkembangan pers yang menjadi bisnis besar di Tanah Air.
Saya rasa, Lucy yang tergolong generasi anak muda zaman sekarang seperti terperangkap dalam hutan kenangan masa silam. Dua manusia berbeda generasi sedang dipertemukan. Nyatanya, Ia memang kurang bergaul dengan anak-anak seusianya. Sepanjang hari Lucy menerima bermacam kenangan dari beragam pengalaman.
Buku ini juga menghadirkan sejumlah nama-nama besar, diantaranya; Sukarno, Guruh Sukarno Putra, Bing Slamet, Chairil Anwar, Umar Kayam, Usmar Ismail, Darmanto, Elvy Sukaesih, Suzana, Eva Arnaz, Adib Hidayat, Butet, sampai — Umberto Eco, Octavio Paz, J.D Salinger, Milan Kundera, Vaclav Havel, Salman Rushdie, Jacques Derrida, Michel Foucault, Richard Florida, Krzysztof Kieslowski, Ingmar Bergman, Bernardo Bertolucci, Wong Karwai, Maggie Cheung, Monica Belluci, kesebelah kiri — Karl Marx, Antonio Gramsci, Che Guevara, Tan Malaka, Mao Zedong, Paman Ho Chi Minh hingga perancang busana biseksual asal Italia, Giorgio Armani.
Yang disayangkan, buku ini terkesan seperti curhatan para wartawan senior yang baru pensiun. Seakan-akan mereka memang sedang mencairkan kenangan masa silam. Sehingga pembahasan awal mengenai gagasan dan proses membikin koran yang sedang di jalankan jadi agak sedikit tersampingkan.
Tapi tak apa, toh saya juga menikmatinya dan sampai di penghujung halaman hehe. Apalagi melihat geliat dan semangat wartawan senior yang keukeuh masih memegang erat idealismenya. Menurut saya, keistimewaan buku ini ada di balik penuturan berbagai pengalaman para tokoh yang membuka gerbang pada zamannya; SS bersama para sahabatnya. Mengalir, apa adanya.
Uniknya, Om Bre menggambarkan salah satu tokoh bernama Oloan. Ia adalah wartawan yang kerap ditugaskan kantor meliput perang di Vietnam dan sekarang menjadi penginjil di Bandung. Dirinya mengesankan Saigon karena ceweknya yang cantik-cantik dan putih-putih. Dengan begitu ia pun mengutarakan kredonya sebagai pewarta; notes, bolpoin dan kondom!
Tak jarang, buku ini cukup banyak membahas mutu kerja jurnalisme. Salahsatunya membahas fire wall atau pagar api, di mana redaksi harus dipisahkan oleh sekat, atau garis yang memisahkan berita dan iklan. Kepentingan bisnis tak boleh memengaruhi redaksi; redaksi tak boleh terlibat urusan bisnis.
Sampai di halaman terakhir, kecurigaan saya pun meletup. Saya menerawang, menebak-nebak dalam benak, siapa sebenarnya sosok asli bernama Santosa Santiana ini? Ada beberapa fakta yang bisa saya tebak. Kesatu, SS bekerja selama 35 tahun sebagai wartawan dan baru saja pensiun. Kedua, SS memiliki rumah yang diapit tiga gunung; Gunung Salak, Gunung Gede dan Gunung Pangrango (saya yakin di kawasan Ciawi Bogor) ketiga, ia mengaku sebenarnya cerpen atau fiksi apapun yang ia tulis setting-nya hanya di sekitar rumahnya, salahsatunya buku berjudul Blues Merbabu gunungnya yang disebut tadi, (bisa jadi sama pula dengan sekuel keduanya 65 ?) Kali ini saya berani bertaruh bahwa tokoh utama Santosa Santiana adalah penulis novel ini sendiri, Bre Redana!
Yaps, saya rasa di hari pensiunnya Om Bre Redana selaku wartawan Kompas, ia berhasil memperpanjang dan merekam jejak kenangannya dalam novel terbarunya ini: KORAN KAMI: with Lucy in The Sky. Jurnalisme dan Rock n’ Roll!
6 notes
·
View notes