Text
Review Buku "Le Petit Prince"
// Review // — Gak nyangka bakal baca buku ini lagi. Dulu, aku pernah baca buku ini, cuman kayaknya gak tamat dan gak terlalu paham. Sekarang aku coba baca lagi dan ... harusnya kubaca dari dulu!
Covernya kaya cerita anak-anak, dan di awal seperti sudah ada "harapan" bahwa buku ini tidak mau dianggap sebagai cerita anak-anak. Setelah baca semua, mungkin anak-anak memang yang lebih bisa memahami buku ini —dengan keluguan mereka.
Buku ini dibuka dengan tokoh Aku yang tersesat di gurun setelah pesawat nya jatuh, dan di sana dia bertemu dengan Pangeran Cilik. Delapan hari terjebak, selama 7 hari Pangeran Cilik menceritakan pengalamannya; berasal dari asteroid B612, planetnya hanya sebesar rumah pribadi dengan 3 gunung berapi yang bisa diduduki, setangkai bunga mawar dengan 4 duri dan pohon Baobab yang harus dicabut setiap pagi. Planet kecil dengan 43 kali matahari terbit dan terbenam. Ya, sekecil itulah dunia anak kecil.
Pangeran Cilik mencintai bunga itu; satu bunga mawar dengan 4 duri, membuang banyak waktu untuk mawar tersebut. Dan itulah yang membuat mawar itu berharga. Saat kita mencurahkan waktu untuk sesuatu, itu menandakan bahwa "sesuatu" itu adalah hal yang berharga bagi kita. Cerita di buku ini kelihatannya ringan, tapi pas mulai dibaca perlahan, kurasa aku gak bisa menemukan semua maksud dalam buku ini.
Pangeran Cilik berkelana ke beberapa asteroid lain, bertemu tiap penduduk di sana; yang tiap asteroid hanya ditinggali satu orang. Mulai dari raja, orang sombong, pemabuk, pengusaha dan pemantik lentera. Tiap cerita tidak lebih dari 10 halaman, tapi apa yang diungkapkan dari sedikit halaman itu, cukup membingungkan dan seperti "bermaksud" sesuatu yang lain.
Pangeran Cilik berakhir di bumi. Planet yang jauh lebih besar daripada miliknya, ditinggali 2 milyar kali lipat lebih banyak dari asteroid nya. Bertemu 5 ribu mawar mirip dengan mawarnya, makhluk melata tanpa kaki yang disebut ular dan rubah yang ingin dijinakkan.
Sebuah cerita yang ringan, tapi dikemas dengan menarik dan dalam. Aku sadar banget kalau tulisan ini gak akan bisa menggambarkan bagaimana isi buku itu, karena aku gak akan sanggup.
Terkadang, mengingat diri kita masa anak-anak dulu, merupakan sesuatu yang unik. Di sana ada jati diri kita sebenarnya, dimana anak kecil melihat melalui hatinya, menemukan keyakinan mereka sendiri dengan imajinasi luas dalam dunia yang sempit. Berbeda dengan orang dewasa, yang disebut oleh Pangeran Cilik, "orang dewasa amat ganjil." Dan menurutku, tiap orang di asteroid itu adalah gambaran orang dewasa.
Raja: menganggap bisa mengendalikan dan menguasai banyak hal. Orang sombong: merasa semua orang mengagumi dirinya, kehebatannya. Pemabuk: malu, malu melakukan keburukan. Tapi tidak berhenti melakukannya. Pengusaha: merasa pintar, serius, menganggap apapun dengan uang dan klaim pribadi. Dan terakhir adalah penyulut lentera: hidup dengan perubahan namun tetap konstan dalam kehidupannya. Tidak berniat berubah dari kebiasaannya, kaku.
Dan semua sifat yang terbagi dalam beberapa asteroid itu, berkumpul berdesakan di satu planet.
1 note
·
View note
Text
Untuk Apa Aku Menulis?
Aku menulis untuk diriku.
Terlepas dari kata yang tercekat, buku yang membeku dengan tiap kata yang mulai berdebu. Anganku terlepas, melambung melampaui dialektika yang enggan masuk dalam tiap kata.
Akankah ini berakhir sederhana?
Pikiranku diam, tanganku berbekas; bekas keheningan dengan waktu yang berdiam. Sejak kapan aku mulai menulis?
Mungkin ini berawal dari Bengawan Solo yang mengalir deras, mengapungkan sampan dengan cerita; atau berawal dari air mata hafalan perkalian waktu kecil yang enggan masuk dalam kepala.
Aku menulis untuk diriku! Aku berharap semua kalimat tanpa struktur menggambarkan bentuk abstrak tanpa kedalaman makna. Berawal dari mata dan dirasa pada tiap frasa. Ah, anganku mengembara!
Jadi, untuk siapa aku menulis?
Hati kecilku mengingat banyak orang, aforisme mengembang menilai kebenaran. Ingatan dahulu tertelan bersama pusaran Bengawan Solo menyingkirkan rasa sakit —menenggelamkan ingatan dan rasa yang ditangisi. Rasanya, aku tidak bisa mendeskripsikan fakta dalam cerita. Seperti tersekat; dilampiaskan oleh air mata yang turun tanpa aba-aba dan lidah yang bergetar menahan.
Potongan ingatan masuk saat aku menulis, menghadang bayangan tulisan dan membawa pergi pikiran melayang. Seutas air mata dalam kegelapan terlihat, secarik senyum dalam cahaya tenggelam. Decitan rel terdengar, suara kereta melintas, memotong angan yang kembali —ambruk bersama palang pintu merah putih dengan suara kering malam hari.
Jadi, untuk siapa tiap tulisan itu? Mungkin —seperti perantauan. Hinggap pada tiap tempat menyongsong dongeng menggema dalam diri. Bermuara dari Bengawan Solo dengan bekas Mataram-nya, singgah di Petilasan Angling Darma dan berlanjut pada kekuasan Brawijaya. Mengumpulkan tiap kata dengan harapan rangkaian indah pada akhir cerita; terus berlanjut mengumpulkan kepingan dari Mataram hingga Majapahit sana.
Aku menulis untuk tiap tempat.
1 note
·
View note
Text
Hening yang didengar
Aku punya kebiasaan untuk membalas cepat pesan yang masuk. Ini karena pikiran adalah sesuatu yang dinamis, tidak bisa muncul secara tepat saat retrieval terjadi. Dari sini aku merasa sebuah perasaan tidak nyaman.
Entah sejak kapan, aku tidak nyaman saat mendapat balasan yang berjeda saat pembicaraan atau membalas pesan. Ada sebuah keheningan;kekosongan yang menyiksa. Kadang kosong dan hening ini menjadi sebab salah paham, “apa dia tersinggung?” atau “apa aku salah ucap?” Spekulasi seperti itu sering terjadi.
Unik, bukan? Dunia ini langka, dimana keheningan bisa menyiksa.
Dan keheningan bisa didengar.
1 note
·
View note
Text
Kataku
Kata-kataku adalah hasil dari pemikiran, pengalaman dan perasaan. Aku menulis karena 3 faktor itu mampu mencakup sebuah topik dan menghasilkan tulisan reflek pada jari-jariku.Â
Jadi jika tulisanku bermasalah, maka itu bisa terjadi karena cacatnya salah satu faktor itu.
0 notes
Text
Viola
Apa perpisahan adalah sebuah akhir? Kupikir itu memang benar. Diakui atau tidak, perpisahan membuat hubungan menghilang begitu saja layaknya tak pernah terjadi. Tapi itu bisa menjadi sebuah pelajaran berharga untuk hubungan selanjutnya.
Aku mengerti bagaimana rasanya ditinggalkan dan berada di posisi yang menyiksa selama beberapa tahun, dan aku tidak mau memikirkan tentang itu lagi, karena aku sudah memutuskan untuk memulai sesuatu yang baru.
Tidak apa, jika masa lalu penuh luka dan kesalahan.
Namun yang terpenting adalah tetap bangkit dan tersenyum. Menjadikan masa lalu sebagai pelajaran dengan orang-orang yang masih berada di sisiku.
Bukankah menarik, saat aku akan meninggalkan dunia, aku akan berpikir bahwa hidupku menyenangkan dan bermakna.
1 note
·
View note
Text
Lagi-lagi
Aku tidak mau menyakiti orang lain. Terutama seorang yang kuanggap berharga.
Terkadang aku sangat egois; atau mungkin aku memang selalu egois, memaksa pasanganku untuk memaklumiku dan menyesuaikan emosinya. Aku tahu, dia melakukan itu karena menyayangiku, tapi itu berarti dia harus terus menekan emosinya.
Bagaimana jika yang terjadi adalah sebaliknya? Apa aku bisa menahan sikap semacam itu. Semakin aku membayangkan aku merasa semakin muak atas diriku sendiri.
Aku berharap, aku tidak mengalami hal yang sama.
1 note
·
View note
Text
Mungkin
Mencoba platform baru, mungkin tidak ada alasan jelas. Hanya saja, mungkin bisa lebih singkat. Semua berawal dari “mungkin”. Dan, mungkin saja, ini bisa menjadi permulaan yang lebih baik
2 notes
·
View notes